Putih. Sangat terang. Dan menyilaukan.
Itu hal pertama yang dirasakannya.
Ia lalu membenarkan posisi duduknya, setelah entah berapa lama ia
menelungkupkan kepalanya di atas meja. Pangkal leher bagian belakangnya terasa
pegal. Setelah merasa lebih nyaman dengan posisi duduknya, lalu memijit pangkal
lehernya yang seperti ditimpa bongkahan batu besar, ia kebingungan. Dimana nih? Kok gue bisa disini? Bisiknya
dalam hati.
Perlahan ia mulai memahami dimana
sebenarnya itu. Sebuah ruangan, lengkap dengan beberapa deretan meja dan kursi
yang tersusun rapi. 2 papan tulis putih terpampang di depan. Layaknya seseorang
yang mendapat berita duka dari keluarganya, seketika itu juga wajahnya kaku. Ia
menundukkan kepalanya, dan yang ia temukan adalah ia memakai seragam khas anak
ABG, rok abu lengkap dengan kemeja putih bersih serta namanya terbordir di dada
sebelah kanan.
Gue gak bisa lama-lama disini. Ia segera
beranjak dari kursinya, dan saat itu posisinya membelakangi pintu. Tepat saat
ia berdiri, cahaya terang yang sejak tadi memenuhi ruangan itu terhalang
sesuatu, menghasilkan bayangan yang ia kenali. Mungkin tepatnya bukan sesuatu,
tapi seseorang. Seseorang itu diam, tepat di antara batas ruangan itu dengan
sisi luarnya. Tidak melangkah masuk, ataupun pergi. Dia diam.
Walaupun
ada rasa takut di dalam hatinya, ia menoleh. Dan ia pun ikut-ikutan terdiam.
Tenggorokannya seperti diikat dengan sangat kuat. Lututnya lemas. Ia ingin
menangis, tapi air matanya pun seperti sudah mengering. Ia mengenali orang yang
menatapnya, kesal, penuh amarah, namun juga menahan tangis. Darius?? Nama itu yang disebutnya dalam
hati. Itu kamu?
Lelaki itu tetap diam. Tetap menatap
dirinya. Kini, kakinya melangkah ke pintu, mendekati satu-satunya orang lain
selain dirinya di ruangan itu. Mendekati lelaki yang sudah lama ia hapus dari
hidupnya. Semakin ia mendekat, semakin lelaki itu merasa tersiksa. Amarahnya
memuncak, tapi ia menahannya. Tangannya terkepal, sangat kencang sehingga urat
di tangannya tampak. Lelaki itu sempat menggerakkan kakinya, ingin masuk ke
dalam kelas. Namun, seseorang menahan pundak kirinya sehingga lelaki itu
berhenti.
Siapa itu? Kenapa dia tahan Darius? Ia
tidak dapat melihat siapa itu, tapi dari tangannya ia tahu kalau itu tangan
wanita. Ia dan lelaki itu kini hanya
berjarak tidak lebih dari 3 langkah. Tapi kenapa ada seseorang yang mencegah
dia menghampirinya. Saat seseorang itu menahan bahunya, ia seolah mengerti.
Emosi yang awalnya berapi-api itu tampak sirna saat tangan itu menyentuhnya. Tangan
kanannya bergerak ke pundak kirinya sendiri, kemudian menggenggam tangan yang
menghilangkan amarahnya itu. Matanya kini tidak semarah tadi, tatapannya sendu.
Lelaki itu menurunkan tangan si gadis, lalu sedikit menggeser posisi tubuhnya
berdiri agar ia bisa melihat wajah si ‘penyelamat’nya itu. Gadis itu tersenyum
tipis, kemudian mengulurkan tangan, menunggu si pria menyambutnya. Lelaki itu
mengerti maksud si gadis, hanya saja ia kembali melihat ke dalam kelas itu. Ia
kembali menatap gadis yang tadi ingin dihampirinya. Namun kini, dengan sebuah
helaan napas panjang, ia berbalik dan meraih tangan si gadis. Kemudian pergi,
tanpa menoleh lagi.
Kat…
Katrin??? Ia tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Kini ia benar-benar
menangis. Air matanya tak lagi terbendung. Sekujur tubuhnya bergetar hebat.
Kedua tangannya bergerak perlahan menutupi mulutnya. Kepalanya serasa dihantam
balok kayu. Pandangannya pun mulai buram. Sulit rasanya ia bernapas. Kedua
kakinya kini tak mampu lagi menahan berat tubuhnya. Tak kuat ia menahan
kenyataan yang baru saja dilihatnya. Ia pun tersungkur. Napasnya
tersengal-sengal, dan entah mengapa dadanya terasa sangat sakit. Ia tak kuat
menahannya. Napasnya semakin pendek. Jika ia berusaha mengambil udara
sedalam-dalamnya, dadanya semakin terasa sakit. Dan saat itu semuanya menjadi
gelap.
Selama
seminggu belakangan ini hujan tak henti-hentinya mengguyur kota Jakarta. Selain
aktivitas beberapa kali terganggu—misalnya karena banjir atau pohon
yang tumbang di sisi jalan menghambat arus kendaraan—mungkin yang
paling populer adalah menurunnya daya tahan tubuh akibat perubahan cuaca
mendadak, alias sakit. Tak heran jika kebanyakan rumah sakit akan menunjukkan
data statistik pasien yang melonjak lumayan tinggi dibandingkan biasanya.
Di
sela-sela hujan rintik-rintik yang membasahi tanah hingga semerbak aroma khas
tanah basah menguak dan menyebar ke seluruh penjuru rumah sakit, seorang dokter—setelannya yang rapih, sambil menenteng tas hitam yang darinya menyembul
ujung alat pokok seorang dokter—masuk melalui pintu sebelah timur
rumah sakit sambil tergesa-gesa menggosokkan alas sepatunya ke sebuah keset di
depan pintu masuk. Maklum, dalam keadaan hujan yang sudah pasti becek, tetap
penting untuk seorang dokter menjaga kebersihan serta kesterilan dirinya,
walaupun itu hanya alas sepatu.
Dokter
itu sudah senior, pasti. Rambutnya yang mulai memperlihatkan tanda-tanda
penuaan, makin mempertegas usianya. Walaupun tak tampak sedikit pun kerutan
atau keriput pun di wajahnya, dokter itu tetap terlihat senior, bijak, dan
sabar. Ia melangkahkan kakinya segera masuk ke area lobby rumah sakit. Dalam perjalanannya menuju ruang praktik, setiap
suster, staf keuangan, ahli gizi medis yang dilewatinya pasti menyapa dan
memberikan salam hormat padanya.
“
Sudah ada berapa pasien?” Tanya pak dokter pada suster yang sudah biasa
mendampinginya.
“
File yang saya terima sih udah 6,
dok. Tapi ada satu pasien yang kemarin baru saja ditangani sama dokter Bara, sekitar jam 2 dini hari. Waktu
dibawa ke UGD dia udah setengah sadar. Pas ditangani, kata dokter Bara dia
sempat collapse. Jadi, dokter Bara
kasih dia suntik adrenalin, dok.” Suster paruh baya yang sibuk membalik rekap
medis pasien yang diceritakannya menangkap pandangan tak setuju di mata si
dokter senior. Seolah-olah dia salah bicara. Tapi segera disadarinya, bahwa
bukan ucapannya yang salah. Tapi ceritanya. Tentang dokter Bara.
“
Bara itu yang mana? Dokter baru? Kok berani banget kasih suntik adrenalin? “
kerut di alisnya sekarang makin keras.
“
Itu loh, dok.. yang sering diomongin sama suster-suster. Yang ganteng. Kemarin
dia dapet giliran jaga malam” ada senyum janggal di wajah suster berkacamata
itu, terlebih saat mengucapkan kata ‘ganteng’.
“
dokter jaga? Yang bener sus? Wah, gak bener nih..” langkahnya yang hanya
berjarak 2 meter dari lift yang sedang terbuka terhenti. Ia panik.
“
Loh kenapa dok?”
“
Siapa nama pasiennya? “
“
Yang disuntik adrenalin, dok? Disini tertulis… Mahesa Shila.” Raut tak mengerti
tampak di wajah si suster
“
Bawa saya ke ruangan dia. Sekarang.”
“
Tapi dok? Pasien yang sudah menunggu…? ” belum selesai omongan suster itu, sang
dokter sudah memijakkan kakinya ke dalam lift.
“
Ayo cepat, Sari! “
Suster
tersebut tak bisa membantah. Ia tahu, ia pun dapat merasakan kepanikan yang
sama menjalari tubuhnya. Jika seorang dokter senior berpengalaman yang biasanya
selalu menemukan solusi untuk pasiennya dengan kepala dingin dan santai
tiba-tiba otot wajahnya berubah tegang dan tak henti-hentinya beliau membaca
rekap medis sang pasien dengan sangat terperinci, maka ini benar-benar tidak
baik.
Langkah
kaki sang dokter begitu cepat sampai-sampai langkah suster Sari yang bersepatu
hak 5cm terdengar begitu keras menghantam lantai rumah sakit. Bunyinya membuat
resah orang-orang yang mungkin sedang menjenguk sanak saudara mereka. Semua
mata tertuju pada mereka berdua. Seolah semua orang tau sang dokter dan suster
sedang dalam keadaan gawat darurat, mereka yang ada disana minggir dan memberi
jalan.
“
Kamarnya…. kedua dari ujung, dok. Nomor 312..” ucapan suster Sari terputus-putus
karena ia setengah berlari mengejar dokter itu.
Tanpa
basa-basi lagi, dokter itu langsung membuka kenop pintu ruang 312, dan segera
berlari menuju tempat seorang gadis dengan paras ayu berkulit hitam manis
sedang terlelap seperti bayi. Napasnya teratur, tapi terdengar begitu lemah.
Bahkan saat sang dokter masuk ke dalam ruangannya seperti setengah mendobrak
pintu, ia sama sekali tidak bergerak. Tampaknya pasien masih berada dalam
pengaruh obat bius. Sesegera mungkin sang dokter mengecek kondisi pasien. Mata stetoskop
diletakkan di dada pasien, berusaha mencari detak jantungnya. Sambil melihat
jam tangannya, ia menghitung berapa detak jantung yang terjadi pada pasien
dalam semenit. Seperti tak cukup, ia mengeluarkan senter dari tasnya, lalu
menarik kelopak mata bagian atas pasien sedikit dan menyinarinya dengan senter.
“
Gimana dok? “ suster Sari yang dari tadi diam saja melihat tingkah laku si
dokter akhirnya penasaran juga.
“
Responnya bagus. Detak jantungnya juga normal.” Suster Sari baru saja akan
mengukur tekanan darahnya, ketika Bara dengan wajah tegang masuk ke dalam
ruangan.
“
Ada apa ini? “ Bara terkejut melihat keberadaan dokter senior itu beserta
suster Sari di dalam ruangan Shila. “ Pagi, dok. Pagi, sus.” Sambil
menganggukkan kepala ke arah mereka
masing-masing Bara bertanya,” Inii.. ada apa ya? “
“
Pagi, dokter Bara. Sebelumnya maaf, ini loh… dokter Fadli tadi…”
“
Kita perlu bicara. Diluar saja. Sari, kamu tensi berapa tekanan darahnya.” Ada
nada memaksa dalam ucapannya, yang membuat Bara sedikit takut. Apalagi itu
dokter senior.
“
Ada apa ya, dok? “ setelah menutup kenop pintu ruangan Shila. Berbagai perasaan
berkecamuk dalam hatinya. Duh, salah apa
nih gue?
“ Kamu itu tau kan… dokter itu
tanggung jawabnya apa? Sedikit aja dosis yang kamu kasih itu berlebih, atau
kurang, satu nyawa bisa hilang di tangan kamu.”
“
Iya, dok. Saya ngerti kok.”
Ada
jeda panjang setelah dokter Fadli mengucapkan kalimat pertamanya pada Bara.
Dokter Fadli tampak mulai menguasai emosinya kembali. Pembawaannya tenang, tapi
tetap saja dingin. Dan semakin membuat Bara ingin kabur rasanya.
“
Kenapa dikasih suntik adrenalin? Itu cuma dipakai dalam keadaan terdesak. “
“
Kemarin keadaannya memang seperti itu, dok.” Bara melakukan pembelaan. “ Kami
kehilangan detak jantungnya, monitor EKG kosong. Dia kena cardiac arrest. Semakin lama saya ambil keputusan, semakin besar
kemungkinan saya kehilangan nyawanya.”
Dokter
Fadli menghela napas sejenak. Lalu membalas alasan Bara, “ Kamu benar.” Ada
sedikit senyum tipis di raut wajahnya. “ Siapa namamu? “
“
Bara, dok. Adhitama Sembara.”
“
Oh ya, Bara. Kata suster Sari tadi, kamu sering diomongin sama suster-suster
disini.” Dokter itu kini menyunggingkan seyumnya lebih lebar. Sekilas Bara
seperti mengenali senyum itu. Tapi segera ia mengenyahkan pikiran itu.
“
Yang bener dok?? “
“
Saya pergi dulu. Kamu pantau dia baik-baik ya. “ Sambil mengedikkan bahu ke
arah kamar Shila. “ Permisi.”
Langkah
dokter Fadli tenang, tapi mantap. Itulah sosok dokter sejati. Bara baru bekerja
di rumah sakit ini sekitar 2 bulan, dan ia sudah tau seperti apa dokter Fadli
dari orang-orang di rumah sakit itu. Semua pekerja di rumah sakit kenal kenal
dokter itu. Dan tak seorang pun pernah membicarakan sesuatu yang buruk
tentangnya. Walaupun ia dokter senior, tidak jarang ia pergi ke pelosok-pelosok
terpencil di Indonesia untuk memberikan bantuan dalam bidang kesehatan bagi
para warga yang awam dan kurang peduli kesehatan. Kapan gue kaya dia ya?
Ia
sudah akan meninggalkan ruangan 312 itu, saat ia melihat di dalam ruangan,
Shila mulai menggerakkan tangannya. Dari luar ruangan pun ia dapat melihat
suster Sari mengajaknya bicara dan memberinya segelas air putih. Perlahan ia
menutup pintu, dan untuk terakhir kalinya sebelum ia bertemu lagi dengan sahabatnya
itu —entah kapan ia bisa bertemu dengannya lagi, ia mengucap lirih, welcome back, Shila.