Monday, January 23, 2012 0 comments

The Final Poster of The Hunger Games

The Hunger Games official poster, starring Jennifer Lawrence as Katniss Everdeen.




































Katniss and Peeta looking on Mockingjay logo


What do you think, Tributes? ;D
Saturday, January 21, 2012 0 comments

#chapter 3


Putih. Sangat terang. Dan menyilaukan.

            Itu hal pertama yang dirasakannya. Ia lalu membenarkan posisi duduknya, setelah entah berapa lama ia menelungkupkan kepalanya di atas meja. Pangkal leher bagian belakangnya terasa pegal. Setelah merasa lebih nyaman dengan posisi duduknya, lalu memijit pangkal lehernya yang seperti ditimpa bongkahan batu besar, ia kebingungan. Dimana nih? Kok gue bisa disini? Bisiknya dalam hati.

           Perlahan ia mulai memahami dimana sebenarnya itu. Sebuah ruangan, lengkap dengan beberapa deretan meja dan kursi yang tersusun rapi. 2 papan tulis putih terpampang di depan. Layaknya seseorang yang mendapat berita duka dari keluarganya, seketika itu juga wajahnya kaku. Ia menundukkan kepalanya, dan yang ia temukan adalah ia memakai seragam khas anak ABG, rok abu lengkap dengan kemeja putih bersih serta namanya terbordir di dada sebelah kanan.

            Gue gak bisa lama-lama disini. Ia segera beranjak dari kursinya, dan saat itu posisinya membelakangi pintu. Tepat saat ia berdiri, cahaya terang yang sejak tadi memenuhi ruangan itu terhalang sesuatu, menghasilkan bayangan yang ia kenali. Mungkin tepatnya bukan sesuatu, tapi seseorang. Seseorang itu diam, tepat di antara batas ruangan itu dengan sisi luarnya. Tidak melangkah masuk, ataupun pergi. Dia diam.

            Walaupun ada rasa takut di dalam hatinya, ia menoleh. Dan ia pun ikut-ikutan terdiam. Tenggorokannya seperti diikat dengan sangat kuat. Lututnya lemas. Ia ingin menangis, tapi air matanya pun seperti sudah mengering. Ia mengenali orang yang menatapnya, kesal, penuh amarah, namun juga menahan tangis. Darius?? Nama itu yang disebutnya dalam hati. Itu kamu?

            Lelaki itu tetap diam. Tetap menatap dirinya. Kini, kakinya melangkah ke pintu, mendekati satu-satunya orang lain selain dirinya di ruangan itu. Mendekati lelaki yang sudah lama ia hapus dari hidupnya. Semakin ia mendekat, semakin lelaki itu merasa tersiksa. Amarahnya memuncak, tapi ia menahannya. Tangannya terkepal, sangat kencang sehingga urat di tangannya tampak. Lelaki itu sempat menggerakkan kakinya, ingin masuk ke dalam kelas. Namun, seseorang menahan pundak kirinya sehingga lelaki itu berhenti.

            Siapa itu? Kenapa dia tahan Darius? Ia tidak dapat melihat siapa itu, tapi dari tangannya ia tahu kalau itu tangan wanita. Ia dan lelaki itu kini hanya berjarak tidak lebih dari 3 langkah. Tapi kenapa ada seseorang yang mencegah dia menghampirinya. Saat seseorang itu menahan bahunya, ia seolah mengerti. Emosi yang awalnya berapi-api itu tampak sirna saat tangan itu menyentuhnya. Tangan kanannya bergerak ke pundak kirinya sendiri, kemudian menggenggam tangan yang menghilangkan amarahnya itu. Matanya kini tidak semarah tadi, tatapannya sendu. Lelaki itu menurunkan tangan si gadis, lalu sedikit menggeser posisi tubuhnya berdiri agar ia bisa melihat wajah si ‘penyelamat’nya itu. Gadis itu tersenyum tipis, kemudian mengulurkan tangan, menunggu si pria menyambutnya. Lelaki itu mengerti maksud si gadis, hanya saja ia kembali melihat ke dalam kelas itu. Ia kembali menatap gadis yang tadi ingin dihampirinya. Namun kini, dengan sebuah helaan napas panjang, ia berbalik dan meraih tangan si gadis. Kemudian pergi, tanpa menoleh lagi.

            Kat… Katrin??? Ia tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Kini ia benar-benar menangis. Air matanya tak lagi terbendung. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Kedua tangannya bergerak perlahan menutupi mulutnya. Kepalanya serasa dihantam balok kayu. Pandangannya pun mulai buram. Sulit rasanya ia bernapas. Kedua kakinya kini tak mampu lagi menahan berat tubuhnya. Tak kuat ia menahan kenyataan yang baru saja dilihatnya. Ia pun tersungkur. Napasnya tersengal-sengal, dan entah mengapa dadanya terasa sangat sakit. Ia tak kuat menahannya. Napasnya semakin pendek. Jika ia berusaha mengambil udara sedalam-dalamnya, dadanya semakin terasa sakit. Dan saat itu semuanya menjadi gelap.





            Selama seminggu belakangan ini hujan tak henti-hentinya mengguyur kota Jakarta. Selain aktivitas beberapa kali terganggumisalnya karena banjir atau pohon yang tumbang di sisi jalan menghambat arus kendaraanmungkin yang paling populer adalah menurunnya daya tahan tubuh akibat perubahan cuaca mendadak, alias sakit. Tak heran jika kebanyakan rumah sakit akan menunjukkan data statistik pasien yang melonjak lumayan tinggi dibandingkan biasanya.

            Di sela-sela hujan rintik-rintik yang membasahi tanah hingga semerbak aroma khas tanah basah menguak dan menyebar ke seluruh penjuru rumah sakit, seorang doktersetelannya yang rapih, sambil menenteng tas hitam yang darinya menyembul ujung alat pokok seorang doktermasuk melalui pintu sebelah timur rumah sakit sambil tergesa-gesa menggosokkan alas sepatunya ke sebuah keset di depan pintu masuk. Maklum, dalam keadaan hujan yang sudah pasti becek, tetap penting untuk seorang dokter menjaga kebersihan serta kesterilan dirinya, walaupun itu hanya alas sepatu.

            Dokter itu sudah senior, pasti. Rambutnya yang mulai memperlihatkan tanda-tanda penuaan, makin mempertegas usianya. Walaupun tak tampak sedikit pun kerutan atau keriput pun di wajahnya, dokter itu tetap terlihat senior, bijak, dan sabar. Ia melangkahkan kakinya segera masuk ke area lobby rumah sakit. Dalam perjalanannya menuju ruang praktik, setiap suster, staf keuangan, ahli gizi medis yang dilewatinya pasti menyapa dan memberikan salam hormat padanya.

            “ Sudah ada berapa pasien?” Tanya pak dokter pada suster yang sudah biasa mendampinginya.

            “ File yang saya terima sih udah 6, dok. Tapi ada satu pasien yang kemarin baru saja ditangani  sama dokter Bara, sekitar jam 2 dini hari. Waktu dibawa ke UGD dia udah setengah sadar. Pas ditangani, kata dokter Bara dia sempat collapse. Jadi, dokter Bara kasih dia suntik adrenalin, dok.” Suster paruh baya yang sibuk membalik rekap medis pasien yang diceritakannya menangkap pandangan tak setuju di mata si dokter senior. Seolah-olah dia salah bicara. Tapi segera disadarinya, bahwa bukan ucapannya yang salah. Tapi ceritanya. Tentang dokter Bara.

            “ Bara itu yang mana? Dokter baru? Kok berani banget kasih suntik adrenalin? “ kerut di alisnya sekarang makin keras.

            “ Itu loh, dok.. yang sering diomongin sama suster-suster. Yang ganteng. Kemarin dia dapet giliran jaga malam” ada senyum janggal di wajah suster berkacamata itu, terlebih saat mengucapkan kata ‘ganteng’.

            “ dokter jaga? Yang bener sus? Wah, gak bener nih..” langkahnya yang hanya berjarak 2 meter dari lift yang sedang terbuka terhenti. Ia panik.

            “ Loh kenapa dok?”

            “ Siapa nama pasiennya? “

            “ Yang disuntik adrenalin, dok? Disini tertulis… Mahesa Shila.” Raut tak mengerti tampak di wajah si suster
            “ Bawa saya ke ruangan dia. Sekarang.”

            “ Tapi dok? Pasien yang sudah menunggu…? ” belum selesai omongan suster itu, sang dokter sudah memijakkan kakinya ke dalam lift.

            “ Ayo cepat, Sari! “

            Suster tersebut tak bisa membantah. Ia tahu, ia pun dapat merasakan kepanikan yang sama menjalari tubuhnya. Jika seorang dokter senior berpengalaman yang biasanya selalu menemukan solusi untuk pasiennya dengan kepala dingin dan santai tiba-tiba otot wajahnya berubah tegang dan tak henti-hentinya beliau membaca rekap medis sang pasien dengan sangat terperinci, maka ini benar-benar tidak baik.

            Langkah kaki sang dokter begitu cepat sampai-sampai langkah suster Sari yang bersepatu hak 5cm terdengar begitu keras menghantam lantai rumah sakit. Bunyinya membuat resah orang-orang yang mungkin sedang menjenguk sanak saudara mereka. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Seolah semua orang tau sang dokter dan suster sedang dalam keadaan gawat darurat, mereka yang ada disana minggir dan memberi jalan.

            “ Kamarnya…. kedua dari ujung, dok. Nomor 312..” ucapan suster Sari terputus-putus karena ia setengah berlari mengejar dokter itu.

            Tanpa basa-basi lagi, dokter itu langsung membuka kenop pintu ruang 312, dan segera berlari menuju tempat seorang gadis dengan paras ayu berkulit hitam manis sedang terlelap seperti bayi. Napasnya teratur, tapi terdengar begitu lemah. Bahkan saat sang dokter masuk ke dalam ruangannya seperti setengah mendobrak pintu, ia sama sekali tidak bergerak. Tampaknya pasien masih berada dalam pengaruh obat bius. Sesegera mungkin sang dokter mengecek kondisi pasien. Mata stetoskop diletakkan di dada pasien, berusaha mencari detak jantungnya. Sambil melihat jam tangannya, ia menghitung berapa detak jantung yang terjadi pada pasien dalam semenit. Seperti tak cukup, ia mengeluarkan senter dari tasnya, lalu menarik kelopak mata bagian atas pasien sedikit dan menyinarinya dengan senter.

            “ Gimana dok? “ suster Sari yang dari tadi diam saja melihat tingkah laku si dokter akhirnya penasaran juga.

            “ Responnya bagus. Detak jantungnya juga normal.” Suster Sari baru saja akan mengukur tekanan darahnya, ketika Bara dengan wajah tegang masuk ke dalam ruangan.

            “ Ada apa ini? “ Bara terkejut melihat keberadaan dokter senior itu beserta suster Sari di dalam ruangan Shila. “ Pagi, dok. Pagi, sus.” Sambil menganggukkan  kepala ke arah mereka masing-masing Bara bertanya,” Inii.. ada apa ya? “

            “ Pagi, dokter Bara. Sebelumnya maaf, ini loh… dokter Fadli tadi…”

            “ Kita perlu bicara. Diluar saja. Sari, kamu tensi berapa tekanan darahnya.” Ada nada memaksa dalam ucapannya, yang membuat Bara sedikit takut. Apalagi itu dokter senior.

            “ Ada apa ya, dok? “ setelah menutup kenop pintu ruangan Shila. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya. Duh, salah apa nih gue?

            “ Kamu itu tau kan… dokter itu tanggung jawabnya apa? Sedikit aja dosis yang kamu kasih itu berlebih, atau kurang, satu nyawa bisa hilang di tangan kamu.”

            “ Iya, dok. Saya ngerti kok.”

            Ada jeda panjang setelah dokter Fadli mengucapkan kalimat pertamanya pada Bara. Dokter Fadli tampak mulai menguasai emosinya kembali. Pembawaannya tenang, tapi tetap saja dingin. Dan semakin membuat Bara ingin kabur rasanya.

            “ Kenapa dikasih suntik adrenalin? Itu cuma dipakai dalam keadaan terdesak. “

            “ Kemarin keadaannya memang seperti itu, dok.” Bara melakukan pembelaan. “ Kami kehilangan detak jantungnya, monitor EKG kosong. Dia kena cardiac arrest. Semakin lama saya ambil keputusan, semakin besar kemungkinan saya kehilangan nyawanya.”

            Dokter Fadli menghela napas sejenak. Lalu membalas alasan Bara, “ Kamu benar.” Ada sedikit senyum tipis di raut wajahnya. “ Siapa namamu? “

            “ Bara, dok. Adhitama Sembara.”

            “ Oh ya, Bara. Kata suster Sari tadi, kamu sering diomongin sama suster-suster disini.” Dokter itu kini menyunggingkan seyumnya lebih lebar. Sekilas Bara seperti mengenali senyum itu. Tapi segera ia mengenyahkan pikiran itu.

            “ Yang bener dok?? “

            “ Saya pergi dulu. Kamu pantau dia baik-baik ya. “ Sambil mengedikkan bahu ke arah kamar Shila. “ Permisi.”

            Langkah dokter Fadli tenang, tapi mantap. Itulah sosok dokter sejati. Bara baru bekerja di rumah sakit ini sekitar 2 bulan, dan ia sudah tau seperti apa dokter Fadli dari orang-orang di rumah sakit itu. Semua pekerja di rumah sakit kenal kenal dokter itu. Dan tak seorang pun pernah membicarakan sesuatu yang buruk tentangnya. Walaupun ia dokter senior, tidak jarang ia pergi ke pelosok-pelosok terpencil di Indonesia untuk memberikan bantuan dalam bidang kesehatan bagi para warga yang awam dan kurang peduli kesehatan. Kapan gue kaya dia ya?

            Ia sudah akan meninggalkan ruangan 312 itu, saat ia melihat di dalam ruangan, Shila mulai menggerakkan tangannya. Dari luar ruangan pun ia dapat melihat suster Sari mengajaknya bicara dan memberinya segelas air putih. Perlahan ia menutup pintu, dan untuk terakhir kalinya sebelum ia bertemu lagi dengan sahabatnya itu entah kapan ia bisa bertemu dengannya lagi, ia mengucap lirih, welcome back, Shila.
 
;