“ I..iya.. nama saya Bara. Kok kamu tau? “
“ Adhitama Sembara kan? Gak inget Bar sama gue? Gue Kat..”
“ Sampe tau nama panjang saya segala. Tapiii… saya kok gak inget ya saya
kenal kamu? “ Kat bingung. Alis lelaki di hadapannya pun bertautan karena
bingung.
“ Serius lo gak inget? Gue..gue Kat. Katrin. Larissa Katrina. “
“ hmmm… ya, terus? “ Katrin menghela napas panjang. Ia sudah tidak tau
lagi bagaimana temannya ini bisa lupa sama sekali padanya. Padahal baru 7 tahun
yang lalu…
“ Yaudah kalo gak inget. Saya cuma mau bilang terima kasih sama kamu.
Tadi kata tukang ojek di sana kamu yang menangkap preman yang tadi ngejambret
handphone saya.”
Lelaki yang mirip Bara itu berpikir seperti sedang mengingat kejadian
yang diutarakan singkat oleh Kat, lalu
ia tersenyum.
“ Ohh..yang tadi? Itu hp kamu? Sekarang sudah ada di kamu kan? Gak usah
repot-repot nyamperin kali. Saya juga gak sengaja lewat situ, jadi saya bantu.”
Awkward. Satu kata yang langsung muncul di
kepala Kat. Orang ini Bara. Bara teman dekatnya dulu. Yang pandai merayu wanita—termasuk dirinya. Ia membantu Kat mengejar preman-preman itu dan
berhasil menangkapnya. Tapi ia tidak ingat dengan Kat.
Urusan gue selesai, bilang makasih
doang kan? Better to get outta here. Sambil menganggukkan kepala, Kat berujar lirih.
“ Ya.. sekali lagi, makasih ya.” Lalu ia membalik tubuhnya dan pergi. Yang penting udah bilang makasih. Ada
secuil perasaan terusik di hatinya. Kok
bisa dia gak inget gue? Segitu gampangnya ya? Lagi-lagi Kat tenggelam dalam
lamunannya. Di dalam pikiran-pikirannya yang kini makin semrawut. Jika ia tidak
segera sadar dari lamunannya itu, entah berapa detik waktu yang dibutuhkan Kat
untuk tertabrak, minimal oleh sepeda motor.
Suara tawa dari belakang punggungnya lah yang membuyarkan lamunannya.
Tawa itu terdengar ditahan, hingga mengeluarkan bunyi seperti orang tercekik.
“ How are you, dr. Kat? Is
everything fine? “
Kat berhenti. Lama baginya untuk menyadari apa yang barusan terjadi.
Lelaki itu memanggilnya, dengan gelar dokter. Hey! Gue gak pernah bilang kalo gue dokter! Lalu suara itu
terdengar lagi.
“ You just still the same Kat. My
old friend…”
Segera setelah kata-kata itu keluar, Kat berbalik dan langsung tertawa.
Begitu juga dengan Bara, tawanya meledak setelah tadi sempat ia tahan.
“ Kurang ajar lo ya! Sok lupa sama gue. Tau gak sih? Tadi pikiran gue
tuh udah kemana-mana. Lo amnesia lah, abis dicuci otak lah. You still the same too, the best liar ever! Hahaha..”
Keduanya tertawa lepas. Aahh how
long we haven’t been in touch?
“ Eh mau kemana abis ini? “ Bara menghentikan gelak tawanya sambil
melihat jam tangan.
“ Mau pulang. Udah siang banget. Gue juga cape. Pasti nyokap nyariin
nih. “
“ I’ll take you home, ya..”
Ucapan cepat itu membuat terkejut sekujur tubuh Kat. Diantar pulang? Apa kata ibu ntar? Baru tadi
pagi disuruh nyari pacar, pulang-pulang bawa cowok. Gak, gak! Pasti ibu cerewet
deh ntar!!
“ Eh.. Bara, kayanya gausah..”
“ Udah masuuk.. Nanti makin lama mikir makin siang. Ibu lo ntar makin
khawatir. “
Tangan Bara tiba-tiba menarik halus tangan kiri Katrin. Dan anehnya, Kat
tidak berusaha melepaskan tangannya dari tangan Bara.
“ Tapiii.. Bar..”
“ Tell me your excuse along your
way home, deal?”
“ Whatever you wish, Bara.” jawab Kat yang terkesan pasrah
sambil menghela napas panjang.
Selama di perjalanan mereka tak henti-hentinya bicara. Jika Bara
kehabisan kata-kata, gantian Kat yang bercerita panjang lebar. Walaupun awalnya
mereka sempat merasa canggung satu sama lain, tapi Bara yang dengan mudah
mencairkan suasana mampu membuat Kat dengan cepat merasa nyaman mengobrol
dengannya.
Berbeda sekali dengan pertemuannya beberapa waktu lalu dengan Darius,
yang tampak lebih diam dan stay cool.
“ Udah berapa mantan lo, Kat? “
“ Well, I have none. “
Tawa Bara seketika meledak. Bara apasih? Negejek maksutnya? Oh, maaf ya.
Dia tidak seperti Bara yang selalu saja memberikan gombalan manis tanpa bukti.
Tapi, Kat diam saja. Ia sebal pada temannya ini.
“ Katrin, marah ya? Maaf deh,
hahaha. Tapi lo lucu sih. Lo kan dokter, masa gak ada yang mau sama lo? “ Bara
menahan tawanya, supaya Kat tidak makin sebal. “ Ya, meskipun lo itu sedikit
kasar..”
“ Ya, gue emang sedikit kasar! “ tiba-tiba Kat menyela omongan Bara
dengan suara sedikit berteriak. “ Gue sedikit gendut, gue sedikit gak feminine,
gue sedikit hitam, gue sedikit aneh, gue sedikit gila.“
“ So, walaupun sedikit-sedikit, siapa yang mau sama gue? Haahh?!! “ ia
menyelesaikan kalimatnya dan mengambil napas panjang. Kat kehabisan napas
karena baru saja mengeluarkan serentetan kalimat tanpa henti seperti bunyi
petasan yang sedang meledak, tidak akan berhenti sampai habis. Dia benar-benar
tampak marah sekarang.
“ Gue mau kok, Kat…”
What?! Ini gila! Bara memang gila. Wanita mana yang tahan diam saja
dirayu dan dipuji seperti itu oleh dokter muda berwajah tampan pengendara
Camry? Tidak ada. Unless me. Kat
menatap Bara dengan tatapan sarkastik, “ You’re
crazy!! “
“ Yeah, I am. I’m crazy over you.
“
———~———
Sejak pertama kali Shila datang, bahkan sebelum berangkat, warna langit
yang begitu kelam bagi Shila sudah mengindikasikan akan terjadi hujan lebat
cepat atau lambat. Dan ia tidak salah. Tepat setelah ia masuk ke dalam kedai
kopi yang begitu ramai pengunjung itu, seketika air seperti ditumpahkan
langsung ke atas kepalanya. Hujan yang tidak kira-kira derasnya mengguyur
jalanan yang padahal tadinya banyak pedagang kaki lima mendirikan stan mereka
masing-masing.
Segera ia mencari tempat duduk dengan posisi paling nyaman baginya, sebelum kerebut orang, pikirnya. Sesaat
sofa yang didudukinya terasa sangat nyaman dan membuat Shila betah berlama-lama
di sana. Tapi sejurus kemudian, rasa ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu
mendadak memenuhi dirinya.
Tepat di seberang, matanya menangkap sosok yang dikenalinya. Sangat ia
kenali, sampai-sampai Shila tidak menyadari pelayan yang datang ke mejanya
mencoba menanyakan berkali-kali apa yang ingin dipesannya, karena ia hanya
diam. Detak jantungnya terasa kian cepat. Pupil matanya membesar. Ia
benar-benar sangat terkejut.
Darius, itu dia. Mengenakan t-shirt Ramones biru pudar, jeans, dan
sepatu Vans. Tidak ada yang berubah, batin Shila. Laki-laki itu laki-laki yang
sama yang masih menjadi pacarnya setahun yang lalu.
Dan kini, dia ada di hadapan Shila. Hanya saja Darius tidak melihatnya.
Pandangannya tertuju pada Galaxy
Note-nya, mungkin sedang ada urusan pekerjaan pikir Shila. Ingin rasanya ia
menghampiri Darius, tapi tidak. Pasti Darius masih marah padanya yang tiba-tiba
memutuskan untuk berpisah tanpa alasan dan pergi begitu saja tanpa pamit. Ingin
rasanya ia memandangi Darius lebih lama, tapi niat itu ia urungkan. Lebih baik Darius gak liat aku.
Tanpa banyak tanya, segera ia mengenakan Ray Ban sunglasses-nya lalu
pergi. Pelayan yang menanyakan pesanannya bingung setengah mati kenapa
pelanggannya tiba-tiba pergi tanpa memesan. Yang penting bagi Shila sekarang
adalah bisa keluar dari sana tanpa dilihat Darius.
Ya, itu yang terus dipikirkannya. Gerak-gerik Shila masih belum menarik
perhatian Darius, hingga tiba-tiba saja badannya tidak seimbang dan ia
terjatuh.
Ia merasa kepalanya sangat sakit. Mungkin kesehatannya memang belum
pulih benar. Masih ada plester luka di pelipisnya. Bara memang menyarankan
untuk bed rest selama 2 minggu. Tapi itu tidak mungkin. Profesinya tidak akan
memberikan keringanan untuk itu. Terlebih lagi, ia kecelakaan akibat ulahnya
sendiri yang malam itu memang mabuk berat. Dadanya kini terasa sedikit sakit.
Ia meletakkan tangannya di sana, sedikit mengurangi rasa sakitnya.
Semua pengunjung mengarahkan pandangannya pada Shila yang masih duduk di
lantai. Termasuk Darius. Shila tidak yakin apakah Darius masih tidak mengenalinya,
karena kacamatanya tadi sempat lepas. Yang ia tahu saat ini Darius tidak lagi
sedang asyik menatap Galaxy-nya. Sekarang Darius menatapnya lekat-lekat.
Shila tidak tahu harus berbuat apa. Pergi.
Ya, aku harus pergi. Jadi saat pelayan yang tadi menghampirinya dan
membantunya berdiri, ia tidak menolak. Segera ia berdiri, mengucapkan terima
kasih pada si pelayan, dan langsung angkat kaki dari tempat itu. Tidak peduli
semua mata kini tertuju ke arahnya, yang penting ia bisa segera keluar. Tidak peduli
Darius yang tatapannya tetap mengikuti langkah Shila dari jendela di sebelah
kanannya sampai Shila hilang dari jangkauannya.
Darius tetap bungkam. Padahal hati kecilnya sudah berteriak untuk
memanggil Shila. Tapi mulutnya bertindak sebaliknya. Ia kunci rapat-rapat
mulutnya, dan mencoba seperti tidak terjadi apa-apa.
Setelah Shila yakin sudah sangat jauh dari kedai kopi yang tadi, ia
berhenti. Ia balikkan tubuhnya untuk memastikan bahwa orang-orang disana sudah
tidak mungkin lagi memperhatikan dirinya. Di dekatnya ada beberapa kursi, jadi
ia duduk sejenak. Mengembalikkan pikirannya yang kacau. Sambil menatap puluhan
orang lalu lalang di hadapannya, ia terus mengulang satu nama. Darius. Apa yang
dilakukannya di sana? Bagaimana kabarnya? Apa dia sekarang sudah punya pacar?
Atau jangan-jangan ia di sana sedang menunggu seseorang, kekasihnya? Ah,
sudahlah. The time has changed.
Shila segera mengambil handphone dari black leather purse-nya lalu men-dial nomor Bara. Beberapa detik
kemudian suara Bara di seberang sana terdengar.
“ Halo? “
“ Bara..” sapa Shila halus, “ Ini gue, Shila. Jadi ketemu kan? Ganti
tempat ya, jangan di Burckley’s. Deket situ ada Espresso, di sana aja ya. Don’t be late. “
“ Loh emangnya kenapa? “ suara Bara yang penuh nada tanya terdengar di line telephone. “ Diskonnya udah abis
ya? “
“ Pffftt…” Shila menghela napas karena kesal pada sahabatnya ini, dokter
tapi kok aneh.
“ Ada sesuatu. I’ll tell you then,
makanya cepet dateng, ok? “ segera ia putus sambungan teleponnya, keburu abis pulsa gue. Ia melirik jam
tangan Guess-nya sejenak. Masih 1 jam lagi. Semoga temannya itu tidak
terlambat. Lebih baik ia masuk dan memesan lebih dulu sambil menunggu
sahabatnya itu. It’s a tough day, isn’t
it?