part before : http://iranakeil.blogspot.com/2013/02/mireilles-2-1.html
Kepala Arsa menghantam kaca
jendela cukup keras saat si supir secara mendadak membanting kemudinya. Ia bisa
merasakan seseorang sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil yang ia naiki
bersama Edith, adiknya. Edith berteriak sambil menggenggam tangan kakaknya
erat, begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Benturan yang dialami
kepala Arsa membuat pandangannya mulai terasa buram. Ia merasakan sensasi rasa
dingin menjalari sebagian kepalanya, terus bergerak turun menuju pelipis
kirinya. Diusapkanlah ujung-ujung jarinya ke pelipis itu, namun yang bisa ia
dapatkan hanyalah cairan kental berwarna merah segar dan menetes deras dari
kepalanya.
“Oh my god….you’re bleeding.”
Ujar Edith dengan suara tercekik karena menahan air matanya menetes, Arsa
kemudian menggenggam tangan adiknya lebih erat dan mengatakan,
“It’s okay, I’m fine. We’re
gonna be fine,” berusaha membuat suaranya setenang mungkin. “You’re gonna be
fine.”
Tiba-tiba Edith menjerit keras,
sangat keras. Mobil yang tadi menabrakkan mobilnya ke mobil mereka belum
menyerah. Ia kembali menabrak sisi kanan mobil Arsa, tepat di tempat Edith.
Kaca jendela di sebelah Edith pecah dan serpihannya melukai separuh wajah
Edith. Tapi salah satu bongkahan kaca besar yang masih menempel di jendelanya
menembus lengan kanan Edith. Edith tidak bisa bergerak dan jeritannya semakin
keras disertai erangan kesakitan. Sedikit saja ia bergerak, pecahan kaca itu
akan masuk semakin dalam menembus punggungnya. Situasi semakin kacau saat
peluru ditembakkan ke ban-ban mobilnya. Mobil Arsa tergelincir, berputar-putar
tak terkendali, sebelum akhirnya ia menyadari suara-suara disekelilingnya mulai
terdengar menjauh.
Detik berikutnya yang ia sadari
adalah, dia tidak sedang berada di daratan, karena perlahan ia merasakkan
dirinya mulai tenggelam. Mobilnya jatuh
ke danau, setidaknya Arsa masih bisa berpikir apa yang terjadi sekarang. Dengan
sedikit sisa tenaga yang ia miliki dibalik rasa nyeri yang menguasai seluruh
tubuhnya, ia tajamkan pandangan matanya dan mencari-cari Edith. Bangku
kemudinya kosong, supir itu pasti sudah mati pikir Arsa. Matanya kembali
mencari dimana Edith, dan Arsa menemukannya. Ia meringkuk di sudut mobil Arsa,
berusaha melawan rasa sakit karena pecahan kaca itu masih menempel bahkan
semakin dalam. Arsa berusaha meraih tangan kanannya dan mencoba menariknya
keluar dari mobil. Tapi Edith kemudian membuka mulutnya dan berteriak, walau
hanya gelembung udara yang keluar. It hurt you, tapi Arsa harus mengeluarkannya
sebelum mereka berdua kehabisan napas. Perlahan Arsa mengangkat tubuh Edith
dengan susah payah, karena Edith terus berteriak. Lebih dari satu menit ia
berusaha mengeluarkannya tapi Edith masih terjebak di dalam mobil yang semakin
jauh dari permukaan. Tiba-tiba Arsa merasakan tangan seseorang meraihnya dan
mencoba menariknya ke atas. Arsa mengisyaratkan orang itu untuk membantu adiknya terlebih dahulu. Ia
menunjuk Edith yang masih terjebak di dalam. Orang itu mengerti, dan mencoba
membantu Arsa. Tapi semuanya mulai tampak sia-sia saat wajah Edith mulai memucat.
Darah yang ia keluarkan terlalu banyak. Arsa tetap berkeras untuk menyelamatkan
adiknya. Ia masih menggenggam tangan adiknya yang tidak tertembus pecahan kaca.
Namun ia harus membuat pilihan. Sudah bermenit-menit berlalu saat ia mencoba
mengeluarkan Edith. Sebentar lagi maka ia akan kehabisan napas. Ia lihat wajah
adiknya, dan Edith tersenyum tipis. Entah itu halusinasi atau tidak, tapi dia
tersenyum, untuk Arsa. Hatinya terasa tercabik-cabik melihat adiknya seperti
itu. Ia tidak mampu melepaskan genggaman tangannya, tapi Edith yang
melepaskannya. Arsa menjerit-jerit sekuat tenaga—bahkan meronta-ronta—untuk mencegah Edith melakukannya, walaupun ia tahu
suaranya teredam dibawah air. Edith bergerak menjauh, menuju ke dasar danau
yang lebih gelap, dan akhirnya menghilang dari pandangannya.
“AAAAA!”
Jeritan
panjangnya akhirnya mengakhiri mimpi buruk itu. Seketika ia terjaga, matanya
terbuka lebar. Tubuhnya berkeringat dan napasnya pun tersengal. Ia kemudian
duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menyelaraskan kembali detak jantungnya
yang berdegup begitu kencang. Perlahan ia menarik napas lalu mengeluarkaannya,
berulang-ulang kali. Mencoba mengatakan pada pikirannya bahwa it was just a dream Arsa, a dream. Tapi,
hatinya menolak. Karena itu adalah kejadian sungguhan yang pernah dialaminya,
dan bukan mimpi. Dia benci ini, setelah 3 tahun berlalu ia bahkan masih
menjadikan mimpi itu ketakutan terbesarnya di dalam hidup.
“Kenapa Edith? Kenapa lo lepas tangan gue?
I….. I could've save you.”
It was all my fault. My fault… Ia
mendengar suaranya sendiri bergema di dalam pikirannya. No, it wasn’t you killed her… Suara lainnya menyahuti dari balik
sudut pikirannya yang lain. Dua suara itu terus bertarung di dalam pikirannya
saat ia hendak membasuh wajahnya dengan air.
Dia tidak akan mati jika kau tidak memintanya pergi bersamamu, you know
that, right? Ia celupkan kepalanya ke dalam wastafel yang sudah ia penuhi
air, membiarkan suara-suara itu mengambang di dalamnya. Arsa menggelengkan
kepalanya, kemudian berteriak dengan suara teredam, “STOP!!”
“No… it wasn’t me who killed her… it wasn’t me.
It wasn’t my fault if she died. It was an accident… an accident.” Arsa memandang bayangannya sendiri di cermin
sambil mengatakan itu berulang-ulang. Setidaknya itu yang diajarkan oleh therapist-nya
selama ini jika sewaktu-waktu halusinasinya mulai muncul lagi. Ia lalu keluar
dari kamar mandi, lalu membuka mini cooler di sudut kamarnya. Those god damn beer…oh no!! Ia menendang
mini cooler tersebut saat mengetahui bir yang dicarinya habis. I need it right now! Segera ia raih
jaket kulitnya serta kunci motornya, before
I’m starting to freak out again.
You know what? When you’re starting to feel like your head is spinning around, or if you’re hearing something rare, probably you were drinking too much. Setidaknya itu yang Arsa pikirkan, saat
mendengar suara seorang gadis berteriak di tengah malam seperti ini.
“Why did I do I wrong, huh? Did I
do something terrible in the past?”
Ia pasti berpikir ia terlalu
banyak menenggak minumannya, jika matanya tidak melihat si gadis pemilik suara
itu, berdiri di atas jembatan. Di atas jembatan? Gadis itu sepertinya sudah
gila. Tapi, ia merasa mengenali wajahnya. What?
Now I’m definitely drinking too much. Tapi, ia tetap meminumnya dan tidak
beranjak dari tempatnya sambil mencoba mengenali wajah yang dirasa dikenalinya
itu.
* NB: well, i know nothing about being drunk, so..... kalo jelek maaf ya ;;)