Wednesday, July 31, 2013 0 comments

Hei Ho.

Selamat datang kembali ke dunia Arsa... maaf kalo baru sekarang saya lanjutin lagi cerita si cowok yang-baru-belajar badboy ini. Semoga selanjutnya saya bisa rutin nge-rep dan gak terlalu lama, berdoa saja. oh iya, doain juga semoga ipk saya semester 2 ini ga turun--walaupun impossible kayanya. Tapi ya kalaupun harus turun, turunnya ga banyak-banyak banget, dan semuanya ga ada yang harusn di SP. AMIIIN.

Sebagai permintaan maaf, saya kenalin deh, ini dia karakter kesayangan saya.


Arsa Latafat - Francisco Lachowski
via : here

0 comments

Arsa Latafat #5


Bahkan setelah memandanginya untuk beberapa menit, Arsa masih belum bisa mengingat siapa gadis itu. Yah, maybe I was wrong. Mungkin saja gadis itu satu kampus dengannya—jika itu benar, maka mungkin gadis itu salah satu dari sekian banyak gadis yang pernah dijahilinya bersema teman satu gengnya, kan tidak mungkin ia hafal semua mahasiswi kampusnya—jadi ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Atau bisa jadi, gadis itu gadis yang hampir saja ditabraknya saat ia kebut-kebutan Sabtu malam lalu, bisa saja kan?

Arsa melihatnya mulai beranjak pergi dari jembatan. Bagus deh, bisiknya dalam hati. Paing tidak, malamnya tidak semakin buruk seandainya gadis itu benar-benar memutuskan untuk bunuh diri tadi. Seiring dengan langkah gadis itu, Arsa pun bersiap untuk pergi. Namun sesaat sebelum ia menyalakan mesin motornya, suara seorang gadis yang terdengar begitu rapuh namun berusaha mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk berteriak mengurungkan niat Arsa untuk pergi.

“ Lepas!! Lepasin!! “

Suara itu terdengar jelas dari arah jembatan tempat si gadis tadi berdiri. Sesaat ia ragu apa yang harus dilakukannya. Matanya bergerak menjelajahi keadaan sekitar. Sunyi dan senyap, tak ada seorangpun. Hanya ada dirinya, gadis itu, dan entah apa yang terjadi di atas jembatan sana. Apa harus gue? Haahh..apa boleh buat. Seketika Arsa langsung berlari menaiki anak tangga menuju ke atas jembatan. Sesampainya di atas, di hadapannya ia bisa melihat seorang lelaki berpakaian compang-camping layaknya pengemis menahan kedua tangan seorang gadis yang tampaknya sedang berusaha melarikan diri. Lelaki itu menjatuhkan si gadis ke aspal dan si gadis memberontak, tapi rupanya ia sudah kehabisan tenaga.

“ Woi orang tua! Mau ngapain lo? “

Mendengar suara Arsa lelaki paruh baya itu terkejut dan menoleh ke belakang. Tanpa banyak bicara, Arsa melayangkan tinjunya ke wajah lelaki itu. Tubuhnya kehilangan keseimbangan setelah menerima pukulan Arsa dan ia jatuh terduduk. Arsa dapat melihat sedikit darah di ujung mulut lelaki itu. Ia kemudian mencengkeram kerah baju lelaki tersebut dan menariknya berdiri lagi.

Ditelusurinya lelaki itu dari atas sampai bawah. Sungguh ia tak habis pikir apa yang ada di dalam pikiran bapak paruh baya ini. Arsa mendecakkan lidahnya sambil menggelengkan kepala. Seulas senyum sinis terbentuk di wajahnya, kemudian ia berkata, “Orang setua bapak gak malu sama umur ya? Apa gak ada lagi yang bisa dipikirin selain ini?” Arsa kemudian melepas cengkramannya sambil mendorong si bapak itu menjauh darinya.

“ Pergi sekarang…atau saya bawa ke kantor polisi.” Kalimat dingin itu meluncur dari mulut Arsa. tanpa ba-bi-bu lagi lelaki tersebut mengambil langkah seribu dan pergi meninggalkan Arsa juga gadis itu. Arsa menghela napas panjang sambil berpikir, nasib burukkah ini sampai ia harus terlibat dalam situasi absurd seperti ini. Ia kemudian melirik gadis yang tidak bergerak di sebelahnya.

Sepertinya gadis itu pingsan. “Kalo dia pingsan gue mesti apa?!” Arsa meneriakki gadis itu seakan-akan ia bisa mendengarnya.Arsa mencoba menepuk beberapa kali pipi si gadis sambil berharap ia segera sadarkan diri, “Heh… Aduh heii! Bangun dong, lo bisa denger suara gue kan?”

*NB : maaf banget lama nge-rep nya hehe :D
Monday, February 25, 2013 0 comments

Arsa Latafat #4

part before : http://iranakeil.blogspot.com/2013/02/mireilles-2-1.html



                Kepala Arsa menghantam kaca jendela cukup keras saat si supir secara mendadak membanting kemudinya. Ia bisa merasakan seseorang sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil yang ia naiki bersama Edith, adiknya. Edith berteriak sambil menggenggam tangan kakaknya erat, begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Benturan yang dialami kepala Arsa membuat pandangannya mulai terasa buram. Ia merasakan sensasi rasa dingin menjalari sebagian kepalanya, terus bergerak turun menuju pelipis kirinya. Diusapkanlah ujung-ujung jarinya ke pelipis itu, namun yang bisa ia dapatkan hanyalah cairan kental berwarna merah segar dan menetes deras dari kepalanya.

                “Oh my god….you’re bleeding.” Ujar Edith dengan suara tercekik karena menahan air matanya menetes, Arsa kemudian menggenggam tangan adiknya lebih erat dan mengatakan,

                “It’s okay, I’m fine. We’re gonna be fine,” berusaha membuat suaranya setenang mungkin. “You’re gonna be fine.”

                Tiba-tiba Edith menjerit keras, sangat keras. Mobil yang tadi menabrakkan mobilnya ke mobil mereka belum menyerah. Ia kembali menabrak sisi kanan mobil Arsa, tepat di tempat Edith. Kaca jendela di sebelah Edith pecah dan serpihannya melukai separuh wajah Edith. Tapi salah satu bongkahan kaca besar yang masih menempel di jendelanya menembus lengan kanan Edith. Edith tidak bisa bergerak dan jeritannya semakin keras disertai erangan kesakitan. Sedikit saja ia bergerak, pecahan kaca itu akan masuk semakin dalam menembus punggungnya. Situasi semakin kacau saat peluru ditembakkan ke ban-ban mobilnya. Mobil Arsa tergelincir, berputar-putar tak terkendali, sebelum akhirnya ia menyadari suara-suara disekelilingnya mulai terdengar menjauh.

                Detik berikutnya yang ia sadari adalah, dia tidak sedang berada di daratan, karena perlahan ia merasakkan dirinya mulai tenggelam. Mobilnya  jatuh ke danau, setidaknya Arsa masih bisa berpikir apa yang terjadi sekarang. Dengan sedikit sisa tenaga yang ia miliki dibalik rasa nyeri yang menguasai seluruh tubuhnya, ia tajamkan pandangan matanya dan mencari-cari Edith. Bangku kemudinya kosong, supir itu pasti sudah mati pikir Arsa. Matanya kembali mencari dimana Edith, dan Arsa menemukannya. Ia meringkuk di sudut mobil Arsa, berusaha melawan rasa sakit karena pecahan kaca itu masih menempel bahkan semakin dalam. Arsa berusaha meraih tangan kanannya dan mencoba menariknya keluar dari mobil. Tapi Edith kemudian membuka mulutnya dan berteriak, walau hanya gelembung udara yang keluar. It hurt you, tapi Arsa harus mengeluarkannya sebelum mereka berdua kehabisan napas. Perlahan Arsa mengangkat tubuh Edith dengan susah payah, karena Edith terus berteriak. Lebih dari satu menit ia berusaha mengeluarkannya tapi Edith masih terjebak di dalam mobil yang semakin jauh dari permukaan. Tiba-tiba Arsa merasakan tangan seseorang meraihnya dan mencoba menariknya ke atas. Arsa mengisyaratkan orang itu  untuk membantu adiknya terlebih dahulu. Ia menunjuk Edith yang masih terjebak di dalam. Orang itu mengerti, dan mencoba membantu Arsa. Tapi semuanya mulai tampak sia-sia saat wajah Edith mulai memucat. Darah yang ia keluarkan terlalu banyak. Arsa tetap berkeras untuk menyelamatkan adiknya. Ia masih menggenggam tangan adiknya yang tidak tertembus pecahan kaca. Namun ia harus membuat pilihan. Sudah bermenit-menit berlalu saat ia mencoba mengeluarkan Edith. Sebentar lagi maka ia akan kehabisan napas. Ia lihat wajah adiknya, dan Edith tersenyum tipis. Entah itu halusinasi atau tidak, tapi dia tersenyum, untuk Arsa. Hatinya terasa tercabik-cabik melihat adiknya seperti itu. Ia tidak mampu melepaskan genggaman tangannya, tapi Edith yang melepaskannya. Arsa menjerit-jerit sekuat tenaga—bahkan meronta-ronta—untuk  mencegah Edith melakukannya, walaupun ia tahu suaranya teredam dibawah air. Edith bergerak menjauh, menuju ke dasar danau yang lebih gelap, dan akhirnya menghilang dari pandangannya.

                “AAAAA!”

                Jeritan panjangnya akhirnya mengakhiri mimpi buruk itu. Seketika ia terjaga, matanya terbuka lebar. Tubuhnya berkeringat dan napasnya pun tersengal. Ia kemudian duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menyelaraskan kembali detak jantungnya yang berdegup begitu kencang. Perlahan ia menarik napas lalu mengeluarkaannya, berulang-ulang kali. Mencoba mengatakan pada pikirannya bahwa it was just a dream Arsa, a dream. Tapi, hatinya menolak. Karena itu adalah kejadian sungguhan yang pernah dialaminya, dan bukan mimpi. Dia benci ini, setelah 3 tahun berlalu ia bahkan masih menjadikan mimpi itu ketakutan terbesarnya di dalam hidup.

                “Kenapa Edith? Kenapa lo lepas tangan gue? I….. I could've save you.”

                It was all my fault. My fault… Ia mendengar suaranya sendiri bergema di dalam pikirannya. No, it wasn’t you killed her… Suara lainnya menyahuti dari balik sudut pikirannya yang lain. Dua suara itu terus bertarung di dalam pikirannya saat ia hendak membasuh wajahnya dengan air.

Dia tidak akan mati jika kau tidak memintanya pergi bersamamu, you know that, right? Ia celupkan kepalanya ke dalam wastafel yang sudah ia penuhi air, membiarkan suara-suara itu mengambang di dalamnya. Arsa menggelengkan kepalanya, kemudian berteriak dengan suara teredam, “STOP!!”

                “No… it wasn’t me who killed her… it wasn’t me. It wasn’t my fault if she died. It was an accident… an accident.”  Arsa memandang bayangannya sendiri di cermin sambil mengatakan itu berulang-ulang. Setidaknya itu yang diajarkan oleh therapist-nya selama ini jika sewaktu-waktu halusinasinya mulai muncul lagi. Ia lalu keluar dari kamar mandi, lalu membuka mini cooler di sudut kamarnya. Those god damn beer…oh no!! Ia menendang mini cooler tersebut saat mengetahui bir yang dicarinya habis. I need it right now! Segera ia raih jaket kulitnya serta kunci motornya, before I’m starting to freak out again.

                You know what? When you’re starting to feel like your head is spinning around, or if you’re hearing something rare, probably you were drinking too much. Setidaknya itu yang Arsa pikirkan, saat mendengar suara seorang gadis berteriak di tengah malam seperti ini.

“Why did I do I wrong, huh? Did I do something terrible in the past?”

Ia pasti berpikir ia terlalu banyak menenggak minumannya, jika matanya tidak melihat si gadis pemilik suara itu, berdiri di atas jembatan. Di atas jembatan? Gadis itu sepertinya sudah gila. Tapi, ia merasa mengenali wajahnya. What? Now I’m definitely drinking too much. Tapi, ia tetap meminumnya dan tidak beranjak dari tempatnya sambil mencoba mengenali wajah yang dirasa dikenalinya itu.


* NB: well, i know nothing about being drunk, so..... kalo jelek maaf ya ;;) 

Tuesday, January 29, 2013 0 comments

Arsa Latafat #3

part before: http://iranakeil.blogspot.com/2013/01/mireilles-2.html


                Dia tidak suka dipanggil anak kecil, Arsa tahu itu. Lalu, dia harus memanggilnya apa? Dia kan tidak tahu namanya. Lagipula siapa yang salah, meneriakinya malam-malam begini? Lo duluan yang cari perkara. Bahkan ia menggunakan headset saat Arsa sedang berbicara padanya. Berani sekali ia!

                Namun, beberapa detik kemudian ia menghentikan lagu yang mengalun dari iPod lalu menarik headset itu lepas dari telinganya. Ia membungkuk seperti ingin mengambil sesuatu yang tergeletak di jalanan. Lalu pandangan Arsa pun menangkap benda yang seharusnya sudah hilang dari hadapannya. Sebuah bungkus rokok yang tadi ia lempar sebelum masuk ke dalam rumah. Tapi untuk apa ia memungutnya?

                “Bungkusnya dibuang di tempat sampah,” ujar gadis itu pelan sambil menyodorkan bungkus rokok itu—sedikit mendorong—ke tubuh Arsa.

                Apa? Jadi karena ini? Hanya karena ia menyuruh Arsa untuk membuang bungkus rokok itu di tempat sampah? This girl…is totally insane.

                Tanpa banyak bicara, ia rebut bungkus rokok itu dari tangannya. Gadis itu tidak bergeming sedikit pun, begitu juga Arsa. Dan rupanya kini ia sudah menemukan kembali keberaniannya untuk menatap Arsa. Dengan satu lemparan yang lumayan jauh, bungkus rokok itu sekarang bersarang di tempat seharusnya ia berada, seperti perintah si gadis. Kali ini, giliran Arsa angkat bicara.

                “Udah puas, hmm?” Ia hisap kembali rokoknya. “Kalo gue jadi lo, gue gak akan melakukan hal bodoh kaya tadi,” Hembusan asap rokoknya melayang di depan wajah si gadis. Sungguh, ia tak habis pikir dirinya menuruti perintah seorang gadis yang bahkan kenal saja tidak. “Karena lo gak pernah tahu apa  yang bisa gue lakukan terhadap lo.”

                Arsa berhenti sejenak sebelum ia melanjutkan pembicaraannya dengan gadis itu. Sedikit aneh saat Arsa menyadari tidak ada lagi orang atau kendaraan yang mondar-mandir saat ini, mengingat ia berdiri di tengah jalan. Jika tidak, sedikitnya pasti klakson kendaraan akan saling bersahutan.

                Ia rendahkan suaranya hingga terdengar begitu serius, dan mengancam, “Jangan sembarangan kalau bicara. Kalau sampai gue berurusan lagi sama lo, I make sure you’ll never get away this easy the next time we meet.”

                Ia hisap rokoknya untuk yang terakhir kali, lalu membanting puntung rokok tersebut ke bawah dan menginjaknya di depan si gadis. Ia berbalik, meniggalkan gadis itu sendirian. Tapi, kemudian ia membalik badannya kembali tepat sebelum membuka pagarnya dan berkata,”Oh, lo gak minta gue buang itu juga kan?” Sambil menunjuk ke arah puntung rokok bekas miliknya tadi lalu masuk ke dalam rumah. Gadis itu belum bergerak, dan ia rasa bantingan pintunya cukup keras untuk mengagetkan si gadis.
Saturday, January 26, 2013 0 comments

Arsa Latafat #2

part before: http://iranakeil.blogspot.com/2013/01/mireilles-1.html


                “Hei!”

                Teriakan seorang gadis itu membuyarkan lamunan Arsa. Ia tersentak. Apakah ia salah dengar? Untuk siapa seruan itu? Mungkin untuk orang lain. Tapi ia merasa seseorang menujukan itu padanya. Dahinya berkerut. Rasa penasaran mulai menjalari seluruh tubuhnya. Ia urungkan niat untuk memutar kenop pintu dan membalik kembali badannya menuju sumber suara. Sambil menghembuskan asap rokok terakhirnya, sudut mata Arsa menangkap sesosok wanita, ah bukan. Ia terlalu muda untuk dipanggil wanita. Seorang bocah—mungkin itu pantas—perempuan berdiri di depan rumahnya. Matanya memandang langsung, tepat di mata Arsa. Arsa dapat menangkap sedikit amarah di mata gadis itu. Ia memicingkan matanya karena bingung, apa maksudnya? Namun, ada sedikit rasa penasaran yang menggelitik batin Arsa. Serius? Dia gak takut sama gue?

                “Ya, kamu. Otak kamu rusak ya saking banyaknya menghisap batang kematian itu?”

                Wow, pekik Arsa dalam hati. Berani sekali gadis itu menyentaknya dengan nada bicara yang tinggi. Otot wajahnya seketika menegang. Ada sedikit amarah terpancar di kedua mata Arsa yang tajam itu. Alis matanya yang tebal bertautan satu sama lain. Sebelah tangannya terkepal erat. Seandainya ia bukan perempuan, mungkin Arsa sudah menghajarnya sekarang. Chill out, Arsa. Dia itu cewek.

                Menit berikutnya, Arsa sudah berada diluar pintu pagarnya. Sebenarnya tak perlu keluar pun ia sudah bisa melihat dengan jelas gadis itu karena badannya yang tinggi. Ia melihat sedikit raut ketakutan di wajah si gadis saat ia akhirnya menampakkan diri. Tanpa mengubah ekspresi, mata Arsa menatap mata gadis itu lekat-lekat. Sama seperti apa yang dilakukannya pada Arsa sebelumnya. Anak sekolah, ucapnya dalam hati. Selangkah demi selangkah, Arsa mendekati gadis itu dan berhenti tepat di depannya. Mungkin gadis itu akan merasa terganggu dengan kepulan asap rokoknya karena ia berdiri terlalu dekat. Tapi siapa perduli. Dengan satu tarikan napas, suara yang dingin dan dalam itumeluncur dari mulut Arsa.

                “Apa maksud ucapan lo barusan, anak kecil?”



 
;