Saturday, May 12, 2012

chapter #5


“ I..iya.. nama saya Bara. Kok kamu tau? “

“ Adhitama Sembara kan? Gak inget Bar sama gue? Gue Kat..”

“ Sampe tau nama panjang saya segala. Tapiii… saya kok gak inget ya saya kenal kamu? “ Kat bingung. Alis lelaki di hadapannya pun bertautan karena bingung.

“ Serius lo gak inget? Gue..gue Kat. Katrin. Larissa Katrina. “

“ hmmm… ya, terus? “ Katrin menghela napas panjang. Ia sudah tidak tau lagi bagaimana temannya ini bisa lupa sama sekali padanya. Padahal baru 7 tahun yang lalu…

“ Yaudah kalo gak inget. Saya cuma mau bilang terima kasih sama kamu. Tadi kata tukang ojek di sana kamu yang menangkap preman yang tadi ngejambret handphone saya.”

Lelaki yang mirip Bara itu berpikir seperti sedang mengingat kejadian yang diutarakan singkat oleh  Kat, lalu ia tersenyum.

“ Ohh..yang tadi? Itu hp kamu? Sekarang sudah ada di kamu kan? Gak usah repot-repot nyamperin kali. Saya juga gak sengaja lewat situ, jadi saya bantu.”

Awkward. Satu kata yang langsung muncul di kepala Kat. Orang ini Bara. Bara teman dekatnya dulu. Yang pandai merayu wanitatermasuk dirinya. Ia membantu Kat mengejar preman-preman itu dan berhasil menangkapnya. Tapi ia tidak ingat dengan Kat.

Urusan gue selesai, bilang makasih doang kan? Better to get outta here. Sambil menganggukkan kepala, Kat berujar lirih.

“ Ya.. sekali lagi, makasih ya.” Lalu ia membalik tubuhnya dan pergi. Yang penting udah bilang makasih. Ada secuil perasaan terusik di hatinya. Kok bisa dia gak inget gue? Segitu gampangnya ya? Lagi-lagi Kat tenggelam dalam lamunannya. Di dalam pikiran-pikirannya yang kini makin semrawut. Jika ia tidak segera sadar dari lamunannya itu, entah berapa detik waktu yang dibutuhkan Kat untuk tertabrak, minimal oleh sepeda motor.

Suara tawa dari belakang punggungnya lah yang membuyarkan lamunannya. Tawa itu terdengar ditahan, hingga mengeluarkan bunyi seperti orang tercekik.

How are you, dr. Kat? Is everything fine?

Kat berhenti. Lama baginya untuk menyadari apa yang barusan terjadi. Lelaki itu memanggilnya, dengan gelar dokter. Hey! Gue gak pernah bilang kalo gue dokter! Lalu suara itu terdengar lagi.

You just still the same Kat. My old friend…

Segera setelah kata-kata itu keluar, Kat berbalik dan langsung tertawa. Begitu juga dengan Bara, tawanya meledak setelah tadi sempat ia tahan.

“ Kurang ajar lo ya! Sok lupa sama gue. Tau gak sih? Tadi pikiran gue tuh udah kemana-mana. Lo amnesia lah, abis dicuci otak lah. You still the same too, the best liar ever! Hahaha..”

Keduanya tertawa lepas. Aahh how long we haven’t been in touch?

“ Eh mau kemana abis ini? “ Bara menghentikan gelak tawanya sambil melihat jam tangan.

“ Mau pulang. Udah siang banget. Gue juga cape. Pasti nyokap nyariin nih. “

I’ll take you home, ya..”

Ucapan cepat itu membuat terkejut sekujur tubuh Kat. Diantar pulang? Apa kata ibu ntar? Baru tadi pagi disuruh nyari pacar, pulang-pulang bawa cowok. Gak, gak! Pasti ibu cerewet deh ntar!!

“ Eh.. Bara, kayanya gausah..”

“ Udah masuuk.. Nanti makin lama mikir makin siang. Ibu lo ntar makin khawatir. “

Tangan Bara tiba-tiba menarik halus tangan kiri Katrin. Dan anehnya, Kat tidak berusaha melepaskan tangannya dari tangan Bara.

“ Tapiii.. Bar..”

Tell me your excuse along your way home, deal?”

“ Whatever you wish, Bara.” jawab Kat yang terkesan pasrah sambil menghela napas panjang.

Selama di perjalanan mereka tak henti-hentinya bicara. Jika Bara kehabisan kata-kata, gantian Kat yang bercerita panjang lebar. Walaupun awalnya mereka sempat merasa canggung satu sama lain, tapi Bara yang dengan mudah mencairkan suasana mampu membuat Kat dengan cepat merasa nyaman mengobrol dengannya.

Berbeda sekali dengan pertemuannya beberapa waktu lalu dengan Darius, yang tampak lebih diam dan stay cool.

“ Udah berapa mantan lo, Kat? “

Well, I have none. “

Tawa Bara seketika meledak. Bara apasih? Negejek maksutnya? Oh, maaf ya. Dia tidak seperti Bara yang selalu saja memberikan gombalan manis tanpa bukti. Tapi, Kat diam saja. Ia sebal pada temannya ini.

“ Katrin, marah ya?  Maaf deh, hahaha. Tapi lo lucu sih. Lo kan dokter, masa gak ada yang mau sama lo? “ Bara menahan tawanya, supaya Kat tidak makin sebal. “ Ya, meskipun lo itu sedikit kasar..”

“ Ya, gue emang sedikit kasar! “ tiba-tiba Kat menyela omongan Bara dengan suara sedikit berteriak. “ Gue sedikit gendut, gue sedikit gak feminine, gue sedikit hitam, gue sedikit aneh, gue sedikit gila.“

“ So, walaupun sedikit-sedikit, siapa yang mau sama gue? Haahh?!! “ ia menyelesaikan kalimatnya dan mengambil napas panjang. Kat kehabisan napas karena baru saja mengeluarkan serentetan kalimat tanpa henti seperti bunyi petasan yang sedang meledak, tidak akan berhenti sampai habis. Dia benar-benar tampak marah sekarang.

“ Gue mau kok, Kat…”

What?! Ini gila! Bara memang gila. Wanita mana yang tahan diam saja dirayu dan dipuji seperti itu oleh dokter muda berwajah tampan pengendara Camry? Tidak ada. Unless me. Kat menatap Bara dengan tatapan sarkastik, “ You’re crazy!! “

Yeah, I am. I’m crazy over you. “

                                                       ———~———

Sejak pertama kali Shila datang, bahkan sebelum berangkat, warna langit yang begitu kelam bagi Shila sudah mengindikasikan akan terjadi hujan lebat cepat atau lambat. Dan ia tidak salah. Tepat setelah ia masuk ke dalam kedai kopi yang begitu ramai pengunjung itu, seketika air seperti ditumpahkan langsung ke atas kepalanya. Hujan yang tidak kira-kira derasnya mengguyur jalanan yang padahal tadinya banyak pedagang kaki lima mendirikan stan mereka masing-masing.

Segera ia mencari tempat duduk dengan posisi paling nyaman baginya, sebelum kerebut orang, pikirnya. Sesaat sofa yang didudukinya terasa sangat nyaman dan membuat Shila betah berlama-lama di sana. Tapi sejurus kemudian, rasa ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu mendadak memenuhi dirinya.

Tepat di seberang, matanya menangkap sosok yang dikenalinya. Sangat ia kenali, sampai-sampai Shila tidak menyadari pelayan yang datang ke mejanya mencoba menanyakan berkali-kali apa yang ingin dipesannya, karena ia hanya diam. Detak jantungnya terasa kian cepat. Pupil matanya membesar. Ia benar-benar sangat terkejut.

Darius, itu dia. Mengenakan t-shirt Ramones biru pudar, jeans, dan sepatu Vans. Tidak ada yang berubah, batin Shila. Laki-laki itu laki-laki yang sama yang masih menjadi pacarnya setahun yang lalu.

Dan kini, dia ada di hadapan Shila. Hanya saja Darius tidak melihatnya. Pandangannya  tertuju pada Galaxy Note-nya, mungkin sedang ada urusan pekerjaan pikir Shila. Ingin rasanya ia menghampiri Darius, tapi tidak. Pasti Darius masih marah padanya yang tiba-tiba memutuskan untuk berpisah tanpa alasan dan pergi begitu saja tanpa pamit. Ingin rasanya ia memandangi Darius lebih lama, tapi niat itu ia urungkan. Lebih baik Darius gak liat aku.

Tanpa banyak tanya, segera ia mengenakan Ray Ban sunglasses-nya lalu pergi. Pelayan yang menanyakan pesanannya bingung setengah mati kenapa pelanggannya tiba-tiba pergi tanpa memesan. Yang penting bagi Shila sekarang adalah bisa keluar dari sana tanpa dilihat Darius.

Ya, itu yang terus dipikirkannya. Gerak-gerik Shila masih belum menarik perhatian Darius, hingga tiba-tiba saja badannya tidak seimbang dan ia terjatuh.

Ia merasa kepalanya sangat sakit. Mungkin kesehatannya memang belum pulih benar. Masih ada plester luka di pelipisnya. Bara memang menyarankan untuk bed rest selama 2 minggu. Tapi itu tidak mungkin. Profesinya tidak akan memberikan keringanan untuk itu. Terlebih lagi, ia kecelakaan akibat ulahnya sendiri yang malam itu memang mabuk berat. Dadanya kini terasa sedikit sakit. Ia meletakkan tangannya di sana, sedikit mengurangi rasa sakitnya.

Semua pengunjung mengarahkan pandangannya pada Shila yang masih duduk di lantai. Termasuk Darius. Shila tidak yakin apakah Darius masih tidak mengenalinya, karena kacamatanya tadi sempat lepas. Yang ia tahu saat ini Darius tidak lagi sedang asyik menatap Galaxy-nya. Sekarang Darius menatapnya lekat-lekat.

Shila tidak tahu harus berbuat apa. Pergi. Ya, aku harus pergi. Jadi saat pelayan yang tadi menghampirinya dan membantunya berdiri, ia tidak menolak. Segera ia berdiri, mengucapkan terima kasih pada si pelayan, dan langsung angkat kaki dari tempat itu. Tidak peduli semua mata kini tertuju ke arahnya, yang penting ia bisa segera keluar. Tidak peduli Darius yang tatapannya tetap mengikuti langkah Shila dari jendela di sebelah kanannya sampai Shila hilang dari jangkauannya.

Darius tetap bungkam. Padahal hati kecilnya sudah berteriak untuk memanggil Shila. Tapi mulutnya bertindak sebaliknya. Ia kunci rapat-rapat mulutnya, dan mencoba seperti tidak terjadi apa-apa.

Setelah Shila yakin sudah sangat jauh dari kedai kopi yang tadi, ia berhenti. Ia balikkan tubuhnya untuk memastikan bahwa orang-orang disana sudah tidak mungkin lagi memperhatikan dirinya. Di dekatnya ada beberapa kursi, jadi ia duduk sejenak. Mengembalikkan pikirannya yang kacau. Sambil menatap puluhan orang lalu lalang di hadapannya, ia terus mengulang satu nama. Darius. Apa yang dilakukannya di sana? Bagaimana kabarnya? Apa dia sekarang sudah punya pacar? Atau jangan-jangan ia di sana sedang menunggu seseorang, kekasihnya? Ah, sudahlah. The time has changed.

Shila segera mengambil handphone dari black leather purse-nya lalu men­-dial nomor Bara. Beberapa detik kemudian suara Bara di seberang sana terdengar.

“ Halo? “

“ Bara..” sapa Shila halus, “ Ini gue, Shila. Jadi ketemu kan? Ganti tempat ya, jangan di Burckley’s. Deket situ ada Espresso, di sana aja ya. Don’t be late.

“ Loh emangnya kenapa? “ suara Bara yang penuh nada tanya terdengar di line telephone. “ Diskonnya udah abis ya? “

“ Pffftt…” Shila menghela napas karena kesal pada sahabatnya ini, dokter tapi kok aneh.

“ Ada sesuatu. I’ll tell you then, makanya cepet dateng, ok? “ segera ia putus sambungan teleponnya, keburu abis pulsa gue. Ia melirik jam tangan Guess-nya sejenak. Masih 1 jam lagi. Semoga temannya itu tidak terlambat. Lebih baik ia masuk dan memesan lebih dulu sambil menunggu sahabatnya itu. It’s a tough day, isn’t it?

No comments:

Post a Comment

 
;