Saturday, April 28, 2012 0 comments

Chapter #4


            What a nice weekend!! Pikir Katrin. Seminggu terakhir ini, ia sangat sibuk mendatangi beberapa rumah sakit. Kini ia tinggal menunggu salah satu dari rumah sakit tersebut menelponnya dan memberitahu bahwa ia diterima. Semoga

            “ Katrin, kamu hari ini gak kemana-mana? “

            “ Enggak, bu. Sabtu-sabtu mau kemana? Lagian juga semingguan ini udah gak di rumah terus, masa hari ini mau pergi juga? “ jawabnya kepada si ibu yang asyik sekali memasak tampaknya.

            “ Yaa.. kan kali aja kamu mau jalan sama pacar kamu. “ sedikit senyum menggoda tersungging di wajah ibunya. Kat yang sedang melipat pakaian yang baru saja ia ambil dari jemuran di belakang rumah tersentak. Apaan sih ini ibu gue?!! Segera ia menghampiri ibunya di dapur dengan wajah kesal, bibirnya tertekuk ke atas, dan alisnya bertautan. Persis sekali seperti wajah bebek, dengan bibir yang lebih naik ke atas.

            “ Bu, aku belum punya pacar tau!! Gausah bikin iri gitu deh..”

            Tawa ibunya seketika meledak. Ia tidak menyangka anaknya akan sekesal itu jika disinggung soal pacar. Wajah Katrin kini makin tidak karuan bentuknya.

            “ Makanya, sayang.. kamu itu cari pacar. Umur kamu kan sudah cukup dewasa. “

            “ Tau ah!! Udah, mendingan jogging deh daripada ngomongin beginian. Itu bajunya semua udah aku lipat, tinggal dimasukkin aja di lemari.”

                                                            ———~———

            Daripada gue di rumah disuruh nyari pacar terus, mending jogging deh! Gerutunya dalam hati. Rumah Katrin memang tidak terlalu besar, juga bukan di daerah elite, tapi fasilitas yang kebetulan tersedia di sekitar rumahnya benar-benar lengkap. Dan beruntungnya, tidak jauh dari sana ada jogging track yang memang sering dipakai oleh umum. Apalagi kalau sedang weekend seperti ini, jinggng track itu pasti dipenuhi pengunjung. Entah sekedar berjalan santai,lari-lari kecil, atau menikmati udara pagi yang belum terkontaminasi polusi.

Tapi, bahkan ada yang hanya sekedar bersenda gurau dengan pacarnya di tepi taman. Well, not again! Katrin kesal.

Kat sudah siap dengan setelan olahraganya—celana training panjang merah, kaos biru laut lengan pendek, jaket Adidas milik kakaknya, dan sepatu Nike warna putih. Tapi, untuk hari itu, entah mengapa perasaan Kat saat berjogging berbeda dari biasanya. Kalau biasanya jogging mampu membuatnya sangat bersemangat, kali ini ia seperti kehilangan harapan hidup. Mungkin karena insiden ‘makanya-cari-pacar’ tadi pagi, Katrin bête dari pagi sampai menjelang tengah hari. Bahkan saat pulang, ia lebih memilih jalan memutar yang lebih jauh ke rumahnya karena masih enggan bertemu dengan ibunya.

Dan sekarang ia merasa menyesal telah memilih itu. Ia memilih lewat gang kampung yang sepi dibandingkan lewat jalan utama yang jelas-jelas merupakan satu-satunya jalan yang melewati depan rumahnya.

Perasaan tidak enak seketika menggerayangi pikirannya. Udah jam 11 lagi!! Nyokap gue pasti nyariin deh. Semakin Katrin melangkah masuk ke jalanan yang tidak jelas dimana ujungnya itu, apa yang ada di depan matanya membuat pikirannya kacau balau. Tepat 10 meter dari posisinya berdiri, ada sebuah pondok—bisa dibilang pos ronda—yang isinya sekumpulan lelaki berperawakan seram.

Banyak diantara mereka yang lidah dan hidungnya di piercing. Bahkan Kat melihat seorang laki-laki dengan total hampir sepuluh tindikan di satu telinganya! Who the hell are they?

But don’t call me Kat if I’m afraid… Ia menarik napas dalam-dalam 3 kali, lalu membetulkan letak headphone dan mengeraskan volume music playernya. Tanpa ragu, Kat melangkah, melewati segerombolan preman kampung yang sedang nongkrong sambil main poker di pos. ia merasakan jantungnya seakan mau lepas detik itu juga. Tapi satu kehebatan Kat, paras wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan yang dirasakan hatinya. Ia begitu lihai menyembunyikan perasaan.

I made it!! Yeah, I made it! Hati kecilnya bersorak kegirangan saat sedikit lagi ia berhasil melewati sekumpulan preman itu.

Saat tiba-tiba langkah berat dari arah belakangnya bergerak gesit dan berhasil merampas handphone-nya.

Kejadiannya terjadi benar-benar diluar dugaan dan sangat cepat. Ada panggilan masuk dari ibunya, lalu ia mengeluarkan handphone dengan maksut ingin menjawab, dan sedetik kemudian si preman piercing itu sudah berlari bersama handphone di genggamannya. Sejenak ia diam, bingung harus berbuat apa. Lalu setelah kesadarannya kembali mengambil alih, Kat berlari sekencang-kencangnya mengejar preman itu.

“JAMBREEETTT!! Balikin handphone gue!!” sambil berlari, Kat berteriak sekuat mingkin agar orang-orang di sekitar sana mendengarnya. Dan itu berhasil. Ada beberapa tukang sayur dan tukang ojek juga warga kampung situ yang mendengar teriakannya.

Segera mereka semua menoleh ke arah Kat berlari, dan langsung ikut mengejar. 2 orang tukang ojek menyalakan mesin motornya dan 2 orang warga yang kebetulan melihat pun segera naik ke motor tersebut. Si tukang ojek langsung memacu laju motornya sampai ngebut. Kat yang berlari, hanya bisa melihat sepeda motor itu hilang di kejauhan, berharap mereka berhasil menolongnya. Larinya melambat. Ia kelelahan. Bagaimana tidak? Ia pulang jogging—yang intinya lari—dan sekarang dipaksa lari lagi. Ia tidak kuat, otot betisnya menegang. Tapi ia masih berlari, hingga sebuah Toyota Camry warna putih melintas dengan kecepatan penuh, membuat Katrin kaget setengah mati sampai terjatuh.

“Jalan pelan sedikit bisa kan?! Jalan punya nenek moyang lo apa?!” emosi Katrin mendadak meluap. Ia meneriaki mobil yang tadi membuat jantungnya copot.

Kini ia menyerah. Tenaganya habis terkuras. Ia berhenti berlari lalu duduk di tepi jalan dengan napas tersengal-sengal. Ia mengatur napas untuk beberapa saat, lalu tiba-tiba air matanya keluar. Kat menangis, karena lelah, kesal, dan bayak hal lain berkecamuk di dadanya. Ia menundukkan kepalanya, malu kalau sampai dilihat orang, sudah besar masih menangis. Yang dilihatnya hanya aspal jalan lusuh, berkerikil, dan berdebu. Pikirannya melayang jauh, sambil meratapi nasib. Salah apa gue? Dari pagi berantem sama nyokap, pulang hp dijambret.

Ia terlalu sibuk hanyut dalam pikiran dan perasaannya yang kacau sampai ia tidak menyadari 2 motor ojek yang mengejar preman piercing itu sudah kembali.

“Mbak..mbak.” salah seorang dari mereka segera turun dari motor dan menghampiri Kat yang sudah berlinang air mata. “Mbak yang tadi teriak jambret-jambret kan? Ini hapenya bukan mbak?”

“ah?” kepalanya diangkat, lalu menjawab dengan suara sedikit parau dan mata merah. “Iya, iya mas. Ini.. ini hape saya yang tadi diambil sama preman disitu. Ya allah mas, makasih banyak ya mas.”

“Iya iya mbak. Sama-sama. Mbaknya gak kenapa kenapa kan?”

“Gapapa kok mas. Cuma tadi cape aja lari-lari ngejar dia.”

“Lagian mbak ngapain lewat situ sih tadi? Itu jalan kan emang jarang dilewatin soalnya ada preman-preman itu, makanya sepi.” Sahut tukang ojek yang lain.

“Saya gatau mas. Maaf ya..” jika harus mengatakan alasan sebenarnya mengapa ia memilih lewat situ, pasti orang-orang ini akan menganggap dirinya aneh. Mending gausah deh.

“Tadi untungnya ada laki-laki yang bantuin kita juga mbak. Dan untungnya dia naik mobil, jadi bisa lebih cepet ngejarnya.”

“Oh ya? Siapa mas?”

“Saya juga kurang tau. bukan orang sini mbak. Pokoknya tiba-tiba premannya udah ketangkep sama dia. Jadi kita dateng, si orang itu udah megangin premannya. Kalo gak salah sih tadi mobilnya sedan putih.”

Hah? sedan putih? Yang tadi ngebut itu? Dia yang nolongin gue?

“Sekarang orangnya dimana ya?” masih setengah tidak percaya kalau oengendara yang hamper saja membuat nyawanya melayang adalah orang yang membantunya.

“Tadi sih saya liat dia berhenti di sana,” tangan si tukang ojek menunjuk satu titik di depan, tempat ia melihat mobil putih itu diparkir. “deket tukang nasi uduk. Nyari sarapan.”

Untung hari ini Katrin membawa dompet, jadi ia bisa memberikan sedikit imbalan sebagai balas jasa kepada si mas-mas tukang ojek dan 3 orang lainnya yang tadi sudah membantu. Ya, walaupun gak gede-gede amat.

Ada satu orang lagi tapi yang harus ia balas bantuannya, si pengendara Camry. Tapi mau dibalas apa? Duit? Mobil saja sudah Camry. Tapi, daripada ia tidak mengucapkan apapun padanya, lebih baik ia menghampiri dan mengucapkan terima kasih. Pikiran itu terus berputar di kepalanya sampai ia sadar bahwa sekarang ia sudah berada tepat di belakang Camry itu. Dia ada di sana, tapi Kat tidak bisa melihat wajahnya karena ia sedang mengambil sesuatu di dalam mobil. Pintu depan tempat supir mengemudi terbuka, dan dari kepala sampai perut tubuh si pengendara ada di dalam.

Apa dia langsung saja mengucapkan terima kasih? Tapi tampaknya lelaki itu sedang sibuk. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu beberapa menit. Dan si lelaki pun akhirnya berhasil mengambil barang yang ternyata adalah dompet. Ia mengambil selembar 10 ribuan lalu menyerahkannya kepada penjual nasi uduk.

“Ehhmm..maaf mas. Mas yang tadi ngejar preman itu bukan?” Kat berjalan mendekati lelaki itu. Dari belakang, Kat merasa tidak asing dengan lelaki yang tadi katanya telah menolongnya ini.

Tubuhnya bisa dibilang ideal, tampak tegap dan gagah. Badannya yang tinggi, rambut hitam mengikal, siapa sih dia? Dan ternyata hati kecilnya tidak pernah salah.

“Iya..tadi saya yang ngejar, ada apa ya?”

Sesaat setelah mengambil kembalian dari ibu penjual nasi uduk, ia menoleh. Dan Kat yakin ia mengenali wajah itu. Hanya saja, lelaki itulah yang tidak menunjukkan tanda bahwa ia mengenal Kat.

“loh.. Bara? Bara kan?”

Wednesday, April 25, 2012 0 comments

back back back

yak!! after a very long time from my last post, I'm baaack!! and here it is... my new chara..

Prakarsa Emir Latafat ;DDD

enjoy yah. oiya, cerita ini gue bikin berdua sama Aristya. jadi kaya RP-ing.

*buat kisah Katrin, lagi diproses hehe :)) tunggu sebentar ya
0 comments

Arsa Latafat #1


Ia melirik Swatch-nya sejenak. Pukul 8.30 malam. Baru jam segini, dan ia sudah pulang? Demi Tuhan, setan apalagi yang sedang merasuki dirinya. Ini sih jam pulang anak SD, pekiknya dalam hati. Apalagi jalanan jam segini sudah lengang. Motornya dipacu dengan kecepatan penuh. Dalam sekejap saja, ia sudah sampai di depan pintu pagar rumah. Sesaat ia diam, menatap rumahnya yang bisa dibilang…cukup mewah. Senyum kecil menghiasi wajahnya. Oh, bukan senyum. Lebih tepatnya seringai kecil. Seperti saat teman satu gengnya mengejek anak-anak lain di sekolah. Rumah bagus, dalemnya busuk!

“Iya, pakde”, sambil membuka helm dengan lambang Autobots menjawab pertanyaan Pakde Mul yang heran jam segini ia sudah pulang, “lagi males diluar.”

Segera pikiran yang sudah mulai semrawut ditepisnya. Melihat setiap hari yang menyambutnya di rumah hanya Pakde Mul dan Bibi Asih, membuatnya terlihat seperti orang bodoh. Dia hidup sendiri. Ya, benar! Tak ada keluarga. Tak ada ayah, ibu, kakak, adik.

Adik. Gak ada adik, ya? Arsa menggelengkan kepalanya 3 kali saat kata-kata ‘adik’ itu muncul. Langsung ia melangkahkan kaki menuju tangga ke lantai atas. Baru sampai di tengah tangga, bi Asih memanggil Arsa dan mengajaknya ke meja makan. Arsa jawab ia sudah makan tadi, tapi bi Asih terus memaksa. Akhirnya ia menyerah.

Dari jauh, Arsa melihat cahaya lilin di atas meja. Apaan tuh? Ia merasa bingung. Begitu ia sampai di meja, dan dilihatnya lebih dekat, ternyata cahaya itu dari lilin yang diletakkan di atas sebuah cheesecake bertuliskan “Happy Birthday Arsa”. Sebuah kartu ucapan terselip di tepinya. Bi Asih bilang itu dari orangtuanya. Hari ini sampai 3 hari ke depan mereka tidak akan ada di rumah, sedang ada negosiasi bisnis di luar kota untuk membuka cabang baru disana. Seringai ejekan itu kembali mengembang di wajah Arsa. Masih ingat ya mereka sama ulang tahunnya? Kirain udah lupa kalo punya anak. Ia mengambil kartu ucapan itu dan membukanya.

“Alasan klasik.” Ia lempar kartu ucapan itu dan langsung mengambil langkah seribu menuju kamarnya. Dibantingnya pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat. Arsa kesal. Ia marah. Ia sedih. Apa perlu ia tambah lagi tattoes yang sudah ada di badannya, atau tindikan di lidah, demi mendapat perhatian orangtuanya?

Haaahh.. Gue capek. Capek hidup, umpatnya dalam hati. Jaket kulit dan pakaiannya sudah ia ganti dengan kaos ketek hitam dan celana pendek rumahan. Seprei tempat tidurnya masih licin dan rapih, dan sekarang Arsa gak ada niatan untuk tidur sama sekali. Dibukanya laci meja, dan mengambil kotak Dunhill SWITCH serta koreknya.

Kalau disini, nanti penuh asap. Jadi, ia keluar lagi menuju teras rumahnya, pokoknya tempat terbuka supaya asapnya gak ngumpul di rumah. Biarin orang lain kena, yang penting pakde sama bibi gak kena.

Baru saja ia duduk di teras, sekumpulan anak laki-lakimungkin masih SD—yang sedang asyik main gundu langsung membubarkan diri. Begitu juga tukang nasi goreng, sesaat setelah tak sengaja bertemu pandang dengan Arsa, lewat di depannya dengan tergesa-gesa seperti dikejar hantu nenek gayung. Kenapa sih mereka? Mukanya serem atau gimana? Oh, mungkin karena tato di tangannya yang lumayan banyakkeseluruhan ada 7 tato, di tangan ada 3. Dan telinganya yang di piercing. Mungkin.

Yah, isinya tinggal satu, saat ia membuka kotak rokoknya. Segera ia nyalakan, dan mulai menghisap rokok bermerek itu. Kenapa mereka semua takut? Kenapa sama sekali gak ada yang pernah menegurnya? Gak berani? Sambil terus menghisap rokoknya, Arsa terus berpikir. Payah. Sama sama orang, gak ada yang berani negur. Bahkan mama papanya sekalipun.

Sekalian aja deh, takut-takutin orang yang lewat. Gak ada yang berani ini, kan? Arsa memasang tampang sangarnya dengan pose duduk yang sebisa mungkin memperlihatkan tato-tatonya. Dan itu berhasil. Langkah kaki mereka pasti lebih cepat tiap lewat di depan Arsa. Setelah puas mengerjai orang-orang, ia beranjak masuk. Kotak rokoknya yang kosong ia lempar asal saja ke jalanan. 

Puk.
------~------
 
;