What
a nice weekend!! Pikir Katrin. Seminggu terakhir ini, ia sangat sibuk
mendatangi beberapa rumah sakit. Kini ia tinggal menunggu salah satu dari rumah
sakit tersebut menelponnya dan memberitahu bahwa ia diterima. Semoga
“ Katrin, kamu hari ini gak kemana-mana?
“
“ Enggak, bu. Sabtu-sabtu mau
kemana? Lagian juga semingguan ini udah gak di rumah terus, masa hari ini mau
pergi juga? “ jawabnya kepada si ibu yang asyik sekali memasak tampaknya.
“ Yaa.. kan kali aja kamu mau jalan
sama pacar kamu. “ sedikit senyum menggoda tersungging di wajah ibunya. Kat
yang sedang melipat pakaian yang baru saja ia ambil dari jemuran di belakang
rumah tersentak. Apaan sih ini ibu gue?!!
Segera ia menghampiri ibunya di dapur dengan wajah kesal, bibirnya tertekuk
ke atas, dan alisnya bertautan. Persis sekali seperti wajah bebek, dengan bibir
yang lebih naik ke atas.
“ Bu, aku belum punya pacar tau!!
Gausah bikin iri gitu deh..”
Tawa ibunya seketika meledak. Ia
tidak menyangka anaknya akan sekesal itu jika disinggung soal pacar. Wajah
Katrin kini makin tidak karuan bentuknya.
“ Makanya, sayang.. kamu itu cari
pacar. Umur kamu kan sudah cukup dewasa. “
“ Tau ah!! Udah, mendingan jogging
deh daripada ngomongin beginian. Itu bajunya semua udah aku lipat, tinggal
dimasukkin aja di lemari.”
———~———
Daripada gue di rumah
disuruh nyari pacar terus, mending jogging deh! Gerutunya dalam hati. Rumah
Katrin memang tidak terlalu besar, juga bukan di daerah elite, tapi fasilitas yang kebetulan tersedia di sekitar rumahnya
benar-benar lengkap. Dan beruntungnya, tidak jauh dari sana ada jogging track yang memang sering dipakai
oleh umum. Apalagi kalau sedang weekend seperti
ini, jinggng track itu pasti dipenuhi
pengunjung. Entah sekedar berjalan santai,lari-lari kecil, atau menikmati udara
pagi yang belum terkontaminasi polusi.
Tapi, bahkan ada
yang hanya sekedar bersenda gurau dengan pacarnya di tepi taman. Well, not again! Katrin kesal.
Kat sudah siap
dengan setelan olahraganya—celana training panjang merah, kaos biru laut lengan
pendek, jaket Adidas milik kakaknya, dan sepatu Nike warna putih. Tapi, untuk
hari itu, entah mengapa perasaan Kat saat berjogging berbeda dari biasanya. Kalau
biasanya jogging mampu membuatnya sangat bersemangat, kali ini ia seperti
kehilangan harapan hidup. Mungkin karena insiden ‘makanya-cari-pacar’ tadi
pagi, Katrin bête dari pagi sampai menjelang tengah hari. Bahkan saat pulang,
ia lebih memilih jalan memutar yang lebih jauh ke rumahnya karena masih enggan
bertemu dengan ibunya.
Dan sekarang ia
merasa menyesal telah memilih itu. Ia memilih lewat gang kampung yang sepi
dibandingkan lewat jalan utama yang jelas-jelas merupakan satu-satunya jalan
yang melewati depan rumahnya.
Perasaan tidak
enak seketika menggerayangi pikirannya. Udah
jam 11 lagi!! Nyokap gue pasti nyariin deh. Semakin Katrin melangkah masuk
ke jalanan yang tidak jelas dimana ujungnya itu, apa yang ada di depan matanya
membuat pikirannya kacau balau. Tepat 10 meter dari posisinya berdiri, ada
sebuah pondok—bisa dibilang pos ronda—yang isinya sekumpulan lelaki
berperawakan seram.
Banyak diantara
mereka yang lidah dan hidungnya di piercing.
Bahkan Kat melihat seorang laki-laki dengan total hampir sepuluh tindikan
di satu telinganya! Who the hell are
they?
But don’t call me Kat if I’m afraid… Ia menarik napas dalam-dalam 3 kali, lalu membetulkan
letak headphone dan mengeraskan volume music playernya. Tanpa ragu, Kat
melangkah, melewati segerombolan preman kampung yang sedang nongkrong sambil
main poker di pos. ia merasakan jantungnya seakan mau lepas detik itu juga. Tapi
satu kehebatan Kat, paras wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan
yang dirasakan hatinya. Ia begitu lihai menyembunyikan perasaan.
I made it!! Yeah, I made it! Hati kecilnya bersorak kegirangan saat sedikit lagi ia
berhasil melewati sekumpulan preman itu.
Saat tiba-tiba
langkah berat dari arah belakangnya bergerak gesit dan berhasil merampas
handphone-nya.
Kejadiannya terjadi
benar-benar diluar dugaan dan sangat cepat. Ada panggilan masuk dari ibunya,
lalu ia mengeluarkan handphone dengan maksut ingin menjawab, dan sedetik
kemudian si preman piercing itu sudah
berlari bersama handphone di genggamannya. Sejenak ia diam, bingung harus
berbuat apa. Lalu setelah kesadarannya kembali mengambil alih, Kat berlari
sekencang-kencangnya mengejar preman itu.
“JAMBREEETTT!! Balikin
handphone gue!!” sambil berlari, Kat berteriak sekuat mingkin agar orang-orang
di sekitar sana mendengarnya. Dan itu berhasil. Ada beberapa tukang sayur dan
tukang ojek juga warga kampung situ yang mendengar teriakannya.
Segera mereka
semua menoleh ke arah Kat berlari, dan langsung ikut mengejar. 2 orang tukang
ojek menyalakan mesin motornya dan 2 orang warga yang kebetulan melihat pun
segera naik ke motor tersebut. Si tukang ojek langsung memacu laju motornya
sampai ngebut. Kat yang berlari, hanya bisa melihat sepeda motor itu hilang di
kejauhan, berharap mereka berhasil menolongnya. Larinya melambat. Ia kelelahan.
Bagaimana tidak? Ia pulang jogging—yang intinya lari—dan sekarang dipaksa lari
lagi. Ia tidak kuat, otot betisnya menegang. Tapi ia masih berlari, hingga sebuah
Toyota Camry warna putih melintas dengan kecepatan penuh, membuat Katrin kaget
setengah mati sampai terjatuh.
“Jalan pelan
sedikit bisa kan?! Jalan punya nenek moyang lo apa?!” emosi Katrin mendadak
meluap. Ia meneriaki mobil yang tadi membuat jantungnya copot.
Kini ia
menyerah. Tenaganya habis terkuras. Ia berhenti berlari lalu duduk di tepi
jalan dengan napas tersengal-sengal. Ia mengatur napas untuk beberapa saat,
lalu tiba-tiba air matanya keluar. Kat menangis, karena lelah, kesal, dan bayak
hal lain berkecamuk di dadanya. Ia menundukkan kepalanya, malu kalau sampai
dilihat orang, sudah besar masih menangis. Yang dilihatnya hanya aspal jalan
lusuh, berkerikil, dan berdebu. Pikirannya melayang jauh, sambil meratapi
nasib. Salah apa gue? Dari pagi berantem
sama nyokap, pulang hp dijambret.
Ia terlalu sibuk
hanyut dalam pikiran dan perasaannya yang kacau sampai ia tidak menyadari 2
motor ojek yang mengejar preman piercing itu sudah kembali.
“Mbak..mbak.”
salah seorang dari mereka segera turun dari motor dan menghampiri Kat yang
sudah berlinang air mata. “Mbak yang tadi teriak jambret-jambret kan? Ini hapenya
bukan mbak?”
“ah?” kepalanya
diangkat, lalu menjawab dengan suara sedikit parau dan mata merah. “Iya, iya
mas. Ini.. ini hape saya yang tadi diambil sama preman disitu. Ya allah mas,
makasih banyak ya mas.”
“Iya iya mbak. Sama-sama.
Mbaknya gak kenapa kenapa kan?”
“Gapapa kok mas.
Cuma tadi cape aja lari-lari ngejar dia.”
“Lagian mbak ngapain
lewat situ sih tadi? Itu jalan kan emang jarang dilewatin soalnya ada
preman-preman itu, makanya sepi.” Sahut tukang ojek yang lain.
“Saya gatau mas.
Maaf ya..” jika harus mengatakan alasan sebenarnya mengapa ia memilih lewat
situ, pasti orang-orang ini akan menganggap dirinya aneh. Mending gausah deh.
“Tadi untungnya
ada laki-laki yang bantuin kita juga mbak. Dan untungnya dia naik mobil, jadi
bisa lebih cepet ngejarnya.”
“Oh ya? Siapa mas?”
“Saya juga
kurang tau. bukan orang sini mbak. Pokoknya tiba-tiba premannya udah ketangkep
sama dia. Jadi kita dateng, si orang itu udah megangin premannya. Kalo gak
salah sih tadi mobilnya sedan putih.”
Hah? sedan
putih? Yang tadi ngebut itu? Dia yang nolongin gue?
“Sekarang
orangnya dimana ya?” masih setengah tidak percaya kalau oengendara yang hamper saja
membuat nyawanya melayang adalah orang yang membantunya.
“Tadi sih saya
liat dia berhenti di sana,” tangan si tukang ojek menunjuk satu titik di depan,
tempat ia melihat mobil putih itu diparkir. “deket tukang nasi uduk. Nyari sarapan.”
Untung hari ini
Katrin membawa dompet, jadi ia bisa memberikan sedikit imbalan sebagai balas
jasa kepada si mas-mas tukang ojek dan 3 orang lainnya yang tadi sudah
membantu. Ya, walaupun gak gede-gede amat.
Ada satu orang
lagi tapi yang harus ia balas bantuannya, si pengendara Camry. Tapi mau dibalas
apa? Duit? Mobil saja sudah Camry. Tapi, daripada ia tidak mengucapkan apapun
padanya, lebih baik ia menghampiri dan mengucapkan terima kasih. Pikiran itu
terus berputar di kepalanya sampai ia sadar bahwa sekarang ia sudah berada
tepat di belakang Camry itu. Dia ada di sana, tapi Kat tidak bisa melihat
wajahnya karena ia sedang mengambil sesuatu di dalam mobil. Pintu depan tempat
supir mengemudi terbuka, dan dari kepala sampai perut tubuh si pengendara ada
di dalam.
Apa dia langsung
saja mengucapkan terima kasih? Tapi tampaknya lelaki itu sedang sibuk. Akhirnya
ia memutuskan untuk menunggu beberapa menit. Dan si lelaki pun akhirnya
berhasil mengambil barang yang ternyata adalah dompet. Ia mengambil selembar 10
ribuan lalu menyerahkannya kepada penjual nasi uduk.
“Ehhmm..maaf
mas. Mas yang tadi ngejar preman itu bukan?” Kat berjalan mendekati lelaki itu.
Dari belakang, Kat merasa tidak asing dengan lelaki yang tadi katanya telah
menolongnya ini.
Tubuhnya bisa
dibilang ideal, tampak tegap dan gagah. Badannya yang tinggi, rambut hitam
mengikal, siapa sih dia? Dan ternyata hati kecilnya tidak pernah salah.
“Iya..tadi saya
yang ngejar, ada apa ya?”
Sesaat setelah
mengambil kembalian dari ibu penjual nasi uduk, ia menoleh. Dan Kat yakin ia
mengenali wajah itu. Hanya saja, lelaki itulah yang tidak menunjukkan tanda
bahwa ia mengenal Kat.
“loh.. Bara?
Bara kan?”