“Kok diem sih, Dar? Gaenak tau
sepi.” Katrin sengaja menghantam kaki kiri Darius dengan kaki kanannya, melihat
sahabatnya itu diam saja dari tadi. Cuma menerawang keluar jendela, walaupun
sesekali membalas chat di BlackBerry Messenger nya yang sepanjang perjalanan
terus berbunyi. Orang sibuk toh sekarang,
pantesan beda.
“Mau rame? Lo keluar sekarang sambil
topless, gue jamin hari ini bakal
jadi hari terame seumur hidup lo. haha!”
“Ihh…lo mau banget ya liat gue topless??”
“Katriiin… ih, apaan sihh! Dari dulu,
sampe sekarang lo ngeselin banget kalo sama gue! Sama Bara aja, sok-sok manis..”
nada bicaranya makin tinggi, haha dia
kesel! As always.. Kat berbisik dalam hati sambil sedikit menyunggingkan
senyum.
“Jadi lo ceritanya mau nih gue
manis-manisin?” dilihatnya Darius tepat di matanya, lalu ia mengedipkan sebelah
matanya dengan wajah manja.
“Ihh…najisss!! Jijik banget gue..
hahaha!” keduanya terhanyut dalam gelak tawa. Darius tertawa begitu lepas,
sesuatu yang baru dilihat Kat lagi semenjak pertemuan mereka tadi. Oh goshh.. how I miss his laughter sooo
badly..
“By
the way, itu kaki lo gimana? masih sakit?” entah mengapa Darius tetap
memandang keluar jendela taksi itu saat menanyakannya kepada Kat. Why don’t you see me, Darius?
“It’s
getting worse.. makin biru banget.”
“Lagian sih lo gegayaan banget pake stiletto segala. Mau kemana sih?”
“Gue abis ngeply ke beberapa rumah sakit. Maklum, Dar, gue baru selesai koas. Lo sendiri dari mana? Sibuk banget
kayanya dari tadi.”
“Engga, gue tadi abis dari kantor
pusat. Ini temen gue nge-BBM terus soalnya dia masih kejebak disana. Materi
presentasinya masih ngawang-ngawang.”
Jempol Darius bergerak lincah diatas keypad.
Tetap tidak memperhatikan Katrin secara langsung.
“Darius.. lo ngomong sama gue apa
handphone sih?”
“Sama lo lah. Maksut deh..”
“But
why don’t you looking at me?”
“I
don’t know.. I just..” kata-kata Darius terputus begitu saja.
“Just..what?”
Rasa penasaran menggelitik hati Katrin.
“Nothing…
hahaha!! Lo pasti udah kepo banget
ya? Hahaha Katrin… dari dulu kepo-nya
gak ilang-ilang.” Darius mendadak tertawa. Ohh
shoot!! dia mainin gue! Sial!
Beberapa detik berikutnya mereka tenggelam dalam diam. Yang ada hanya
suara mobil-mobil menderu di jalan bebas hambatan itu. Namun, Kat menyadari
sesuatu. Dia merasakan sepasang mata itu sedang menatapnya lekat-lekat. Mata
berwarna hitam pekat itu tak kunjung beranjak dari arahnya. What the heck is wrong with this guy??
“What
are you looking at, huh?” kini gantian Kat yang tidak berani menatap
Darius. Darius tetap menatapnya, tak sedikit pun ia memalingkan pandangannya.
“Darius
serius ahh!!”
“I’m
looking at you..tadi katanya minta diliatin..” Darius menatap manja.
Mencoba merayu Kat dengan tatapannya. Matanya selalu memandang di satu titik,
di mata Kat.
“Kalo gue perhatiin, lo makin cantik
deh, Kat.”
“Hahaha apaan sih, Dar. Ntar ada
yang jealous lagi.”
Darius berhenti memandangnya, lalu ia tersenyum. Lebih tepatnya
tersenyum pahit. Seperti ada yang salah dalam kata-kata Kat yang menyakitinya. Sekilas
tampak semburat kesedihan di wajah Darius. Mata itu, yang dari tadi tak
henti-hentinya menatap Kat, seketika berubah. Ia menunduk lesu. Tatapannya
kosong. Kat bisa merasakan kesedihan yang amat mendalam di mata Darius. Sedetik
kemudian, ia berusaha menghilangkan ekspresi itu, dan kembali seperti
sebelumnya.
“Siapa emang?”
“Mmhhh… Shila?” wajah Kat penuh
Tanya.
“Masih? Udah engga kok, Kat.”
Senyuman ganjil itu terkembang di bibirnya, lagi.
“Ooohh.. well, I’m sorry.” Seketika itu juga rasa bersalah memenuhi hati
Kat.
“It’s
okay.. santai aja kali gausah minta maaf segala.”
“Abis muka lo langsung lesu gitu,
kan gue gaenak. Emang lo berdua kenapa, kok break-up?”
“Yaaa…. Lo tau lah Kat, kita masih
muda. Perjalanan masih panjang. Gak menutup kemungkinan sesuatu berubah, entah
di gue atau di dia.”
“You
mean… there’s somebody else between…” kalimatnya terputus karena Darius
menyela sebelum ia menyelesaikannya.
“Lo itu ya.. jadi cewek jangan cepat
mengambil kesimpulan. Jangan kepo juga! Cowo-cowo males sama cewek yang selalu
mau tahu, hahaha.”
“How
dare you?!!” Kat meninju perut sahabatnya itu. Darius pun memasang wajah
berpura-pura sakit, walaupun sebenarnya yang terasa hanyalah rasa geli.
Kedekatan ini, kebersamaan dan kekompakan mereka, sudah terjalin semenjak 10
tahun yang lalu saat mereka bersekolah di SMA yang sama. Memang sebenarnya
tidak murni 10 tahun, karena Darius baru masuk 6 bulan setelah Kat. Namun itu
tidak mempengaruhi takdir mereka menjadi sahabat yang sangat dekat hingga kini.
Keduanya mempunyai ikatan yang
sangat dekat. Hampir semuanya cocok. Minat, bakat, dan kegemaran mereka sama. Masing-masing
selalu menceritakan keluh kesahnya. Seakan diantara mereka, sudah sama sekali
tak ada yang tidak diketahui satu sama lain. Kat masih ingat kali pertama ia curhat ke Darius, saat mereka baru
merubah status menjadi siswa-siswi SMA. Saat itu Kat sedang jatuh hati dengan
teman satu kelas mereka yang secara kebetulan —baru diketahui
Kat setelah ia berkenalan dengan Darius— adalah teman se-SD Darius. Entah perasaan apa yang membuat Kat
benar-benar mempercayai Darius sehingga ia menceritakan semuanya kepada
laki-laki—dimana biasanya wanita lebih nyaman untuk sharing ke sesama wanita—yang padahal termasuk salah satu anak
pindahan saat itu. Mungkin karena Kat terlalu sering bercerita, dan bahkan
tanpa ia sadari dirinya merasa nyaman di dekat Darius, perlahan rasa itu
berubah.
Dan itulah yang sampai kini, dari sekian banyak cerita
yang selama ini ia bagi bersama Darius, tak pernah sama sekali diceritakannya.
Tak pernah sama sekali diakuinya. Dan tak akan pernah, seumur hidupnya ia
mengungkapkannya. Karena ia takut, takut kehilangan sahabat yang nyatanya
adalah seseorang yang selalu mengisi relung hati terdalamnya selama ini. It’s true when people say that true love is
unspoken, but what people never say is how bad that unspoken love hurt yours
each other.