Alunan simfoni indah itu sekejap mati
Lebih dari guratan kilat yang tak kutahu
seberapa cepat
Matahari di langit senja pun muak
Muak melihat sesuatu ini melayang tanpa batas
melebihi pelangi
Lalu jatuh terhempas sampai langkah kakimu tak
terdengar
Jauh berbeda, kala itu
Ketika hanya ada aku, kamu, dan lentera itu
Kala itu, langit seolah selalu menugguku
membuka mata
Sebuah harmoni mengalun lembut
Menggenggam erat sanubari
Mengiringi langkah demi langkah
Memperdengarkan bunyian yang tak pernah
kudengar
Senja kini tak lagi sama tanpa dirimu
Semburat jingga di langit menjadi abu-abu
Lentera dalam hatiku mulai padam tanpamu
Aku selesai tanpa kamu, bagai sebuah lakon yang
ditinggal dalangnya
Tertatih aku melangkah, menjalani perang yang
tak pernah bisa kumenangkan
Di bawah lampu yang bersinar temaram aku
melihatmu
Tersenyum lembut seolah mengajakku kembali
Aku kalah, aku selalu kalah dengan pesonamu
Langkahku mantap ke arahmu
Bersama kita pergi, menuju keabadian yang tak
berujung..
Gimana? By the way, I’d like to say thanks for my dearest friend, Aristya
Nur Fitasari, for the last 2 verses in
this poem. Those words have some magical spell for everyone who read it. Thanks
a bunch, once again :D
No comments:
Post a Comment