Monday, February 25, 2013

Arsa Latafat #4

part before : http://iranakeil.blogspot.com/2013/02/mireilles-2-1.html



                Kepala Arsa menghantam kaca jendela cukup keras saat si supir secara mendadak membanting kemudinya. Ia bisa merasakan seseorang sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil yang ia naiki bersama Edith, adiknya. Edith berteriak sambil menggenggam tangan kakaknya erat, begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Benturan yang dialami kepala Arsa membuat pandangannya mulai terasa buram. Ia merasakan sensasi rasa dingin menjalari sebagian kepalanya, terus bergerak turun menuju pelipis kirinya. Diusapkanlah ujung-ujung jarinya ke pelipis itu, namun yang bisa ia dapatkan hanyalah cairan kental berwarna merah segar dan menetes deras dari kepalanya.

                “Oh my god….you’re bleeding.” Ujar Edith dengan suara tercekik karena menahan air matanya menetes, Arsa kemudian menggenggam tangan adiknya lebih erat dan mengatakan,

                “It’s okay, I’m fine. We’re gonna be fine,” berusaha membuat suaranya setenang mungkin. “You’re gonna be fine.”

                Tiba-tiba Edith menjerit keras, sangat keras. Mobil yang tadi menabrakkan mobilnya ke mobil mereka belum menyerah. Ia kembali menabrak sisi kanan mobil Arsa, tepat di tempat Edith. Kaca jendela di sebelah Edith pecah dan serpihannya melukai separuh wajah Edith. Tapi salah satu bongkahan kaca besar yang masih menempel di jendelanya menembus lengan kanan Edith. Edith tidak bisa bergerak dan jeritannya semakin keras disertai erangan kesakitan. Sedikit saja ia bergerak, pecahan kaca itu akan masuk semakin dalam menembus punggungnya. Situasi semakin kacau saat peluru ditembakkan ke ban-ban mobilnya. Mobil Arsa tergelincir, berputar-putar tak terkendali, sebelum akhirnya ia menyadari suara-suara disekelilingnya mulai terdengar menjauh.

                Detik berikutnya yang ia sadari adalah, dia tidak sedang berada di daratan, karena perlahan ia merasakkan dirinya mulai tenggelam. Mobilnya  jatuh ke danau, setidaknya Arsa masih bisa berpikir apa yang terjadi sekarang. Dengan sedikit sisa tenaga yang ia miliki dibalik rasa nyeri yang menguasai seluruh tubuhnya, ia tajamkan pandangan matanya dan mencari-cari Edith. Bangku kemudinya kosong, supir itu pasti sudah mati pikir Arsa. Matanya kembali mencari dimana Edith, dan Arsa menemukannya. Ia meringkuk di sudut mobil Arsa, berusaha melawan rasa sakit karena pecahan kaca itu masih menempel bahkan semakin dalam. Arsa berusaha meraih tangan kanannya dan mencoba menariknya keluar dari mobil. Tapi Edith kemudian membuka mulutnya dan berteriak, walau hanya gelembung udara yang keluar. It hurt you, tapi Arsa harus mengeluarkannya sebelum mereka berdua kehabisan napas. Perlahan Arsa mengangkat tubuh Edith dengan susah payah, karena Edith terus berteriak. Lebih dari satu menit ia berusaha mengeluarkannya tapi Edith masih terjebak di dalam mobil yang semakin jauh dari permukaan. Tiba-tiba Arsa merasakan tangan seseorang meraihnya dan mencoba menariknya ke atas. Arsa mengisyaratkan orang itu  untuk membantu adiknya terlebih dahulu. Ia menunjuk Edith yang masih terjebak di dalam. Orang itu mengerti, dan mencoba membantu Arsa. Tapi semuanya mulai tampak sia-sia saat wajah Edith mulai memucat. Darah yang ia keluarkan terlalu banyak. Arsa tetap berkeras untuk menyelamatkan adiknya. Ia masih menggenggam tangan adiknya yang tidak tertembus pecahan kaca. Namun ia harus membuat pilihan. Sudah bermenit-menit berlalu saat ia mencoba mengeluarkan Edith. Sebentar lagi maka ia akan kehabisan napas. Ia lihat wajah adiknya, dan Edith tersenyum tipis. Entah itu halusinasi atau tidak, tapi dia tersenyum, untuk Arsa. Hatinya terasa tercabik-cabik melihat adiknya seperti itu. Ia tidak mampu melepaskan genggaman tangannya, tapi Edith yang melepaskannya. Arsa menjerit-jerit sekuat tenaga—bahkan meronta-ronta—untuk  mencegah Edith melakukannya, walaupun ia tahu suaranya teredam dibawah air. Edith bergerak menjauh, menuju ke dasar danau yang lebih gelap, dan akhirnya menghilang dari pandangannya.

                “AAAAA!”

                Jeritan panjangnya akhirnya mengakhiri mimpi buruk itu. Seketika ia terjaga, matanya terbuka lebar. Tubuhnya berkeringat dan napasnya pun tersengal. Ia kemudian duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menyelaraskan kembali detak jantungnya yang berdegup begitu kencang. Perlahan ia menarik napas lalu mengeluarkaannya, berulang-ulang kali. Mencoba mengatakan pada pikirannya bahwa it was just a dream Arsa, a dream. Tapi, hatinya menolak. Karena itu adalah kejadian sungguhan yang pernah dialaminya, dan bukan mimpi. Dia benci ini, setelah 3 tahun berlalu ia bahkan masih menjadikan mimpi itu ketakutan terbesarnya di dalam hidup.

                “Kenapa Edith? Kenapa lo lepas tangan gue? I….. I could've save you.”

                It was all my fault. My fault… Ia mendengar suaranya sendiri bergema di dalam pikirannya. No, it wasn’t you killed her… Suara lainnya menyahuti dari balik sudut pikirannya yang lain. Dua suara itu terus bertarung di dalam pikirannya saat ia hendak membasuh wajahnya dengan air.

Dia tidak akan mati jika kau tidak memintanya pergi bersamamu, you know that, right? Ia celupkan kepalanya ke dalam wastafel yang sudah ia penuhi air, membiarkan suara-suara itu mengambang di dalamnya. Arsa menggelengkan kepalanya, kemudian berteriak dengan suara teredam, “STOP!!”

                “No… it wasn’t me who killed her… it wasn’t me. It wasn’t my fault if she died. It was an accident… an accident.”  Arsa memandang bayangannya sendiri di cermin sambil mengatakan itu berulang-ulang. Setidaknya itu yang diajarkan oleh therapist-nya selama ini jika sewaktu-waktu halusinasinya mulai muncul lagi. Ia lalu keluar dari kamar mandi, lalu membuka mini cooler di sudut kamarnya. Those god damn beer…oh no!! Ia menendang mini cooler tersebut saat mengetahui bir yang dicarinya habis. I need it right now! Segera ia raih jaket kulitnya serta kunci motornya, before I’m starting to freak out again.

                You know what? When you’re starting to feel like your head is spinning around, or if you’re hearing something rare, probably you were drinking too much. Setidaknya itu yang Arsa pikirkan, saat mendengar suara seorang gadis berteriak di tengah malam seperti ini.

“Why did I do I wrong, huh? Did I do something terrible in the past?”

Ia pasti berpikir ia terlalu banyak menenggak minumannya, jika matanya tidak melihat si gadis pemilik suara itu, berdiri di atas jembatan. Di atas jembatan? Gadis itu sepertinya sudah gila. Tapi, ia merasa mengenali wajahnya. What? Now I’m definitely drinking too much. Tapi, ia tetap meminumnya dan tidak beranjak dari tempatnya sambil mencoba mengenali wajah yang dirasa dikenalinya itu.


* NB: well, i know nothing about being drunk, so..... kalo jelek maaf ya ;;) 

No comments:

Post a Comment

 
;