Sunday, December 25, 2011

chapter #2


            “Kok diem sih, Dar? Gaenak tau sepi.” Katrin sengaja menghantam kaki kiri Darius dengan kaki kanannya, melihat sahabatnya itu diam saja dari tadi. Cuma menerawang keluar jendela, walaupun sesekali membalas chat di BlackBerry Messenger nya yang sepanjang perjalanan terus berbunyi. Orang sibuk toh sekarang, pantesan beda.

            “Mau rame? Lo keluar sekarang sambil topless, gue jamin hari ini bakal jadi hari terame seumur hidup lo. haha!”

            “Ihh…lo mau banget ya liat gue topless??”

            “Katriiin… ih, apaan sihh! Dari dulu, sampe sekarang lo ngeselin banget kalo sama gue! Sama Bara aja, sok-sok manis..” nada bicaranya makin tinggi, haha dia kesel! As always.. Kat berbisik dalam hati sambil sedikit menyunggingkan senyum.

            “Jadi lo ceritanya mau nih gue manis-manisin?” dilihatnya Darius tepat di matanya, lalu ia mengedipkan sebelah matanya dengan wajah manja.

            “Ihh…najisss!! Jijik banget gue.. hahaha!” keduanya terhanyut dalam gelak tawa. Darius tertawa begitu lepas, sesuatu yang baru dilihat Kat lagi semenjak pertemuan mereka tadi. Oh goshh.. how I miss his laughter sooo badly..

            “By the way, itu kaki lo gimana? masih sakit?” entah mengapa Darius tetap memandang keluar jendela taksi itu saat menanyakannya kepada Kat. Why don’t you see me, Darius?

            “It’s getting worse.. makin biru banget.”

            “Lagian sih lo gegayaan banget pake stiletto segala. Mau kemana sih?”

            “Gue abis ngeply ke beberapa rumah sakit. Maklum, Dar, gue baru selesai koas. Lo sendiri dari mana? Sibuk banget kayanya dari tadi.”

            “Engga, gue tadi abis dari kantor pusat. Ini temen gue nge-BBM terus soalnya dia masih kejebak disana. Materi presentasinya masih ngawang-ngawang.” Jempol Darius bergerak lincah diatas keypad. Tetap tidak memperhatikan Katrin secara langsung.

            “Darius.. lo ngomong sama gue apa handphone sih?”

            “Sama lo lah. Maksut deh..”

            “But why don’t you looking at me?”

            “I don’t know.. I just..” kata-kata Darius terputus begitu saja.

            “Just..what?” Rasa penasaran menggelitik hati Katrin.

            “Nothing… hahaha!! Lo pasti udah kepo banget ya? Hahaha Katrin… dari dulu kepo­-nya gak ilang-ilang.” Darius mendadak tertawa. Ohh shoot!! dia mainin gue! Sial!

Beberapa detik berikutnya mereka tenggelam dalam diam. Yang ada hanya suara mobil-mobil menderu di jalan bebas hambatan itu. Namun, Kat menyadari sesuatu. Dia merasakan sepasang mata itu sedang menatapnya lekat-lekat. Mata berwarna hitam pekat itu tak kunjung beranjak dari arahnya. What the heck is wrong with this guy??

            “What are you looking at, huh?” kini gantian Kat yang tidak berani menatap Darius. Darius tetap menatapnya, tak sedikit pun ia memalingkan pandangannya.

            Darius serius ahh!!”

            “I’m looking at you..tadi katanya minta diliatin..” Darius menatap manja. Mencoba merayu Kat dengan tatapannya. Matanya selalu memandang di satu titik, di mata Kat.

            “Kalo gue perhatiin, lo makin cantik deh, Kat.”

            “Hahaha apaan sih, Dar. Ntar ada yang jealous lagi.”

Darius berhenti memandangnya, lalu ia tersenyum. Lebih tepatnya tersenyum pahit. Seperti ada yang salah dalam kata-kata Kat yang menyakitinya. Sekilas tampak semburat kesedihan di wajah Darius. Mata itu, yang dari tadi tak henti-hentinya menatap Kat, seketika berubah. Ia menunduk lesu. Tatapannya kosong. Kat bisa merasakan kesedihan yang amat mendalam di mata Darius. Sedetik kemudian, ia berusaha menghilangkan ekspresi itu, dan kembali seperti sebelumnya.

            “Siapa emang?”

            “Mmhhh… Shila?” wajah Kat penuh Tanya.

            “Masih? Udah engga kok, Kat.” Senyuman ganjil itu terkembang di bibirnya, lagi.

            “Ooohh.. well, I’m sorry.” Seketika itu juga rasa bersalah memenuhi hati Kat.

            “It’s okay.. santai aja kali gausah minta maaf segala.”

            “Abis muka lo langsung lesu gitu, kan gue gaenak. Emang lo berdua kenapa, kok break-up?”

            “Yaaa…. Lo tau lah Kat, kita masih muda. Perjalanan masih panjang. Gak menutup kemungkinan sesuatu berubah, entah di gue atau di dia.”

            “You mean… there’s somebody else between…” kalimatnya terputus karena Darius menyela sebelum ia menyelesaikannya.

            “Lo itu ya.. jadi cewek jangan cepat mengambil kesimpulan. Jangan kepo juga! Cowo-cowo males sama cewek yang selalu mau tahu, hahaha.”

            “How dare you?!!” Kat meninju perut sahabatnya itu. Darius pun memasang wajah berpura-pura sakit, walaupun sebenarnya yang terasa hanyalah rasa geli. Kedekatan ini, kebersamaan dan kekompakan mereka, sudah terjalin semenjak 10 tahun yang lalu saat mereka bersekolah di SMA yang sama. Memang sebenarnya tidak murni 10 tahun, karena Darius baru masuk 6 bulan setelah Kat. Namun itu tidak mempengaruhi takdir mereka menjadi sahabat yang sangat dekat hingga kini.

            Keduanya mempunyai ikatan yang sangat dekat. Hampir semuanya cocok. Minat, bakat, dan kegemaran mereka sama. Masing-masing selalu menceritakan keluh kesahnya. Seakan diantara mereka, sudah sama sekali tak ada yang tidak diketahui satu sama lain. Kat masih ingat kali pertama ia curhat ke Darius, saat mereka baru merubah status menjadi siswa-siswi SMA. Saat itu Kat sedang jatuh hati dengan teman satu kelas mereka yang secara kebetulan baru diketahui Kat setelah ia berkenalan dengan Darius— adalah teman se-SD Darius. Entah perasaan apa yang membuat Kat benar-benar mempercayai Darius sehingga ia menceritakan semuanya kepada laki-laki—dimana biasanya wanita lebih nyaman untuk sharing ke sesama wanita—yang padahal termasuk salah satu anak pindahan saat itu. Mungkin karena Kat terlalu sering bercerita, dan bahkan tanpa ia sadari dirinya merasa nyaman di dekat Darius, perlahan rasa itu berubah.

            Dan itulah yang sampai kini, dari sekian banyak cerita yang selama ini ia bagi bersama Darius, tak pernah sama sekali diceritakannya. Tak pernah sama sekali diakuinya. Dan tak akan pernah, seumur hidupnya ia mengungkapkannya. Karena ia takut, takut kehilangan sahabat yang nyatanya adalah seseorang yang selalu mengisi relung hati terdalamnya selama ini. It’s true when people say that true love is unspoken, but what people never say is how bad that unspoken love hurt yours each other.

No comments:

Post a Comment

 
;