“bang,
djarum super 1!”
Abang-abang yang sejak tadi
mondar-mandir sambil meneriakkan segala macam barang dagangan khas pedagan
asongan yang dibawanya sedari tadi pun menghampiri lelaki di sebelah Kat. ahh!! I hate cigarette! Kat menggerutu
sendiri dalam hati. Katrin tidak pernah menyukai rokok. Lagian siapa sih cewek
yang suka sama rokok? Memang ada sih, beberapa wanita berparas garang yang sering Katrin temui sedang
menghisap benda mungil nan mematikan itu di sekitar Central Park. Padahal namanya aja Park, masih aja
orang-orang ngerokok, Katrin ngedumel sendiri. Tapi tidak untuk seorang
Larissa Katrina. Sekarang, ataupun selamanya, dia bersumpah, seumur hidupnya ia
gak akan pernah menyentuh, apalagi mencoba barang itu. Bahkan, Katrin pun
berjanji dia gak akan mau punya pacar smoker—walaupun selama ini sebenarnya dia
belum pernah punya pacar, BELUM PERNAH! Dan sekarang,
Kat harus menerima kenyataan pahit bahwa pria serampangan yang duduk di
sebelahnya adalah perokok aktif, yang sebentar lagi akan menyalakan puntung rokoknya,
tanpa sadar menaikkan resiko kematian seseorang di tiap hisapannya.
Kat ingin sekali
beranjak dari tempat duduknya. Namun, baru sedetik ia berdiri dengan tujuan
mencari posisi lain yang diusahakan sejauh-jauhnya dari kepulan asap rokok, dia
mengurungkan niatnya. Segera ia duduk kembali. Kalo gue pindah sekarang, gue bakalan berdiri sampe mampus gak bisa
jalan nunggu bis gara-gara stiletto sialan ini! pikirnya. Alhasil, selama
15 menit berikutya dia harus menahan rasa kesal sama pria di sebelahnya. Demi
nungguin bis pulang!! Dalam hati dia bergumam, kalo aja gue punya pacar, gue
gak bakalan duduk di pinggir halte sambil menghirup asap rokok gini. Segera dia
hapus pikiran itu dari benaknya. Kebetulan juga, bis yang dinanti-nanti Kat pun
datang. Dan gak cuma Kat yang sontak berdiri menyongsong bis yang bahkan belum
ngerem, tapi juga semua orang di halte itu. Untung
orang itu gak naik, ia bersyukur karena pria itu enggan beranjak dan masih
betah duduk adem ayem sama rokoknya.
“yoooo, Kebon Nanas,
Kebon Nanas..yooo. ayo bu! Cepet! jangan lama-lama ada polisi bu di belakang…”
kata si kenek langsung menyauti ibu-ibu yang sudah terlanjur membuka mulut
untuk bertanya.
Semua orang
bergerak seirama, semua menuju ke bis yang sama dengan Kat. Keadaan benar-benar
penuh sesak. Gak mau kalah, Kat langsung berusaha membobol barisan orang-orang
yang lebih rapat dari barisan SATPOL PP. Tubuhnya yang mungil memungkinkan dia
untuk masuk dan mendapat kursi duduk terlebih dulu, jika tidak ada sesuatu yang
menahan langkah kakinya.
Suara itu, Kat yakin dia
kenal suara itu. Ya, hanya suara itu yang mampu membuat sekujur tubuhnya
membeku.
“ini bis jurusan mana bang?” suara itu. Kat benar-benar berhenti sekarang.
“ke Tangerang, mas. Kebon Nanas.”
“ohh.. makasih ya.” Gue
gak mungkin salah denger!! Sekali lagi Kat meyakinkan diri sebelum menoleh
ke belakang.
Diantara puluhan orang
bergerak maju, Kat terdiam. Ia menoleh ke belakang, mencoba mencari sumber
suara yang tadi di dengarnya. Namun, dia tidak menemukannya. Suara itu hilang,
atau memang itu hanya khayalan semata. Tidak, suara itu nyata. Suara itu
menggetarkan hatinya. But it’s not him,
Katrin. Don’t even think about it, ia berujar dalam hati.
Detik berikutnya, yang
terjadi diluar dugaan. Seseorang yang berusaha meraih pintu bis terdekat
menubruknya. Oh, bukan satu, tapi dua! Satu orang lagi menyenggol sisi kanan
Kat, membuatnya kehilangan keseimbangan. Masih belum cukup, seorang wanita
bergerak tergesa-gesa menghantamnya dari belakang. Tubuhnya limbung ke depan. 2
map merah jatuh dari tangannya. Segala berkas-berkasnya menghambur keluar.
Dirinya sendiri jatuh terduduk sambil memegangi kakinya yang rupanya keseleo. Bis-menuju-rumah nya pun
perlahan mulai bergerak. Damn it!!
Ia mencoba menggerakkan
kirinya yang keseleo. Kat mengernyitkan dahi.
“anjrit sakit bangett!! Aaww…” tanpa sadar Kat
mengeluarkan suara.
Seseorang
pun datang menghampirinya. Alhamdulillaaah,
ada juga yang nolongin gue. Namun Kat tidak tahu siapa itu. Tatapannya
masih tertuju ke pergelangan kakinya yang tampak menyedihkan. Lelaki rupanya,
pikir Kat dari sepatunya. Lelaki itu segera membereskan berkas milik Kat yang
berserakan. Kemudian ia mengapit 2 map itu di ketiaknya. Oohh shoot!!
“mba, bisa jalan gak? Kalo gak bisa sini saya bantu. Tapi, kalo gak mau juga
gak papa sih.. Nanti kalo saya pegang pegang mba gak terima lagi.”
Masih dalam
posisi menunduk, syaraf-syaraf Kat menegang. Napasnya tercekat. Suara ini.
suara ini yang membuatnya berhenti mendadak. Suara ini yang memaksa kepalanya
menoleh ke belakang sampai dirinya ditubruk bertubi-tubi tanpa henti. Suara ini
yang membuat kakinya tak bisa bergerak. Suara ini yang dirindukannya.
“mba.. kok malah diem mba?”
Perlahan
Katrin menguatkan dirinya menatap wajah lelaki itu. Dan kini dia benar. Wajah
itu yang tadi ia harap ditemukannya.
“Darius..??” mata mereka kini
bertemu.
“loh…
Katrin? Jadi lo yang jatoh??” ujarnya heran, tapi menahan tawa mengetahui bahwa
yang terjatuh itu adalah sahabatnya.
“iya.. kenapa? Seneng?” bersungut,
berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
“dih..
bukannya gitu, Kat. Gue ga nyangka aja kita ketemu disini. Lo sih pinterannya
suudzon mulu. Sekarang bisa berdiri gak?”
“ gak bisa, Dar… sakit bangeett!”
Kat berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Kenyataan
bahwa ia merindukan lelaki berperawakan jangkung itu.
Darius
mendecakkan lidahnya, “ahhh kan! Udah sini mana tangan lo, gue bantuin. Kalo
mau jatoh gue pegangin.”
Katrin pun lalu
memberikan tangannya pada Darius. Tangannya yang mantap, membuat Kat tidak ragu
memberikan seluruh bobot tubuhnya pada kakinya yang sakit untuk sementara.
Benar saja, begitu berdiri, tubuh Kat limbung kembali. Namun, tangan Darius
dengan cepat menangkapnya.
“woow..thanks, Dar.” Darius mendekap
Katrin untuk beberapa detik, lalu memapahnya kembali.
“sama-sama, Kat. Lo mau pulang ya?”
“iya nih, but my bus already gone.”
“yaelaahhh gausah sedih gitu kali,
Kat. Pulang bareng gue aja.”
“loh..??!! emang lo bawa mobil?” Kat
yang sedang berusaha mati-matian berjalan setengah terkejut mendengar omongan
Darius.
“enggak sih, Kat.” Darius berkata
santai sambil melirik Swatch nya sejenak.
“terus gimana caranya gue bareng lo?
naik bis? Pliss banget Dar..”
“yaudah, kita naik taksi aja deh
biar cepet. Bayarnya berdua!”
“iya, Darius… takut banget sih.”
Darius pun menghentikan
langkahnya di tempat yang menurutnya cukup terlihat, agar saat ada taksi
mendekat, tangannya bisa langsung memberi isyarat kepada sopir taksi untuk
memberhentikan taksinya. Beberapa detik mereka dalam diam, sambil menunggu
taksi lewat, Kat memperhatikan sahabatnya itu. Sempat ia terpaku beberapa detik
saat memperhatikan lekuk wajahnya ketika tiba-tiba Darius menuntunnya untuk
kembali berjalan, karena taksi sudah ada di depan mata mereka.
Tak pernah
terbayangkan sebelumnya oleh Katrin, suatu saat dia akan kembali bertemu dengan
kisah masa lalunya. Menghabiskan akhir senja hari itu bersama kenangannya. Fase
yang tak seharusnya diungkit kembali. Seseorang yang selalu mendiami tempat di
hati Katrin, seseorang seperti Darius Kamil.
No comments:
Post a Comment