Wednesday, April 25, 2012

Arsa Latafat #1


Ia melirik Swatch-nya sejenak. Pukul 8.30 malam. Baru jam segini, dan ia sudah pulang? Demi Tuhan, setan apalagi yang sedang merasuki dirinya. Ini sih jam pulang anak SD, pekiknya dalam hati. Apalagi jalanan jam segini sudah lengang. Motornya dipacu dengan kecepatan penuh. Dalam sekejap saja, ia sudah sampai di depan pintu pagar rumah. Sesaat ia diam, menatap rumahnya yang bisa dibilang…cukup mewah. Senyum kecil menghiasi wajahnya. Oh, bukan senyum. Lebih tepatnya seringai kecil. Seperti saat teman satu gengnya mengejek anak-anak lain di sekolah. Rumah bagus, dalemnya busuk!

“Iya, pakde”, sambil membuka helm dengan lambang Autobots menjawab pertanyaan Pakde Mul yang heran jam segini ia sudah pulang, “lagi males diluar.”

Segera pikiran yang sudah mulai semrawut ditepisnya. Melihat setiap hari yang menyambutnya di rumah hanya Pakde Mul dan Bibi Asih, membuatnya terlihat seperti orang bodoh. Dia hidup sendiri. Ya, benar! Tak ada keluarga. Tak ada ayah, ibu, kakak, adik.

Adik. Gak ada adik, ya? Arsa menggelengkan kepalanya 3 kali saat kata-kata ‘adik’ itu muncul. Langsung ia melangkahkan kaki menuju tangga ke lantai atas. Baru sampai di tengah tangga, bi Asih memanggil Arsa dan mengajaknya ke meja makan. Arsa jawab ia sudah makan tadi, tapi bi Asih terus memaksa. Akhirnya ia menyerah.

Dari jauh, Arsa melihat cahaya lilin di atas meja. Apaan tuh? Ia merasa bingung. Begitu ia sampai di meja, dan dilihatnya lebih dekat, ternyata cahaya itu dari lilin yang diletakkan di atas sebuah cheesecake bertuliskan “Happy Birthday Arsa”. Sebuah kartu ucapan terselip di tepinya. Bi Asih bilang itu dari orangtuanya. Hari ini sampai 3 hari ke depan mereka tidak akan ada di rumah, sedang ada negosiasi bisnis di luar kota untuk membuka cabang baru disana. Seringai ejekan itu kembali mengembang di wajah Arsa. Masih ingat ya mereka sama ulang tahunnya? Kirain udah lupa kalo punya anak. Ia mengambil kartu ucapan itu dan membukanya.

“Alasan klasik.” Ia lempar kartu ucapan itu dan langsung mengambil langkah seribu menuju kamarnya. Dibantingnya pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat. Arsa kesal. Ia marah. Ia sedih. Apa perlu ia tambah lagi tattoes yang sudah ada di badannya, atau tindikan di lidah, demi mendapat perhatian orangtuanya?

Haaahh.. Gue capek. Capek hidup, umpatnya dalam hati. Jaket kulit dan pakaiannya sudah ia ganti dengan kaos ketek hitam dan celana pendek rumahan. Seprei tempat tidurnya masih licin dan rapih, dan sekarang Arsa gak ada niatan untuk tidur sama sekali. Dibukanya laci meja, dan mengambil kotak Dunhill SWITCH serta koreknya.

Kalau disini, nanti penuh asap. Jadi, ia keluar lagi menuju teras rumahnya, pokoknya tempat terbuka supaya asapnya gak ngumpul di rumah. Biarin orang lain kena, yang penting pakde sama bibi gak kena.

Baru saja ia duduk di teras, sekumpulan anak laki-lakimungkin masih SD—yang sedang asyik main gundu langsung membubarkan diri. Begitu juga tukang nasi goreng, sesaat setelah tak sengaja bertemu pandang dengan Arsa, lewat di depannya dengan tergesa-gesa seperti dikejar hantu nenek gayung. Kenapa sih mereka? Mukanya serem atau gimana? Oh, mungkin karena tato di tangannya yang lumayan banyakkeseluruhan ada 7 tato, di tangan ada 3. Dan telinganya yang di piercing. Mungkin.

Yah, isinya tinggal satu, saat ia membuka kotak rokoknya. Segera ia nyalakan, dan mulai menghisap rokok bermerek itu. Kenapa mereka semua takut? Kenapa sama sekali gak ada yang pernah menegurnya? Gak berani? Sambil terus menghisap rokoknya, Arsa terus berpikir. Payah. Sama sama orang, gak ada yang berani negur. Bahkan mama papanya sekalipun.

Sekalian aja deh, takut-takutin orang yang lewat. Gak ada yang berani ini, kan? Arsa memasang tampang sangarnya dengan pose duduk yang sebisa mungkin memperlihatkan tato-tatonya. Dan itu berhasil. Langkah kaki mereka pasti lebih cepat tiap lewat di depan Arsa. Setelah puas mengerjai orang-orang, ia beranjak masuk. Kotak rokoknya yang kosong ia lempar asal saja ke jalanan. 

Puk.
------~------

No comments:

Post a Comment

 
;