Ia melirik Swatch-nya sejenak. Pukul 8.30 malam. Baru jam segini, dan ia
sudah pulang? Demi Tuhan, setan apalagi yang sedang merasuki dirinya. Ini sih
jam pulang anak SD, pekiknya dalam hati. Apalagi jalanan jam segini sudah
lengang. Motornya dipacu dengan kecepatan penuh. Dalam sekejap saja, ia sudah
sampai di depan pintu pagar rumah. Sesaat ia diam, menatap rumahnya yang bisa
dibilang…cukup mewah. Senyum kecil menghiasi wajahnya. Oh, bukan senyum. Lebih
tepatnya seringai kecil. Seperti saat teman satu gengnya mengejek anak-anak
lain di sekolah. Rumah bagus, dalemnya
busuk!
“Iya, pakde”, sambil membuka helm dengan lambang Autobots menjawab
pertanyaan Pakde Mul yang heran jam segini ia sudah pulang, “lagi males diluar.”
Segera pikiran yang sudah mulai semrawut ditepisnya. Melihat setiap hari
yang menyambutnya di rumah hanya Pakde Mul dan Bibi Asih, membuatnya terlihat
seperti orang bodoh. Dia hidup sendiri. Ya, benar! Tak ada keluarga. Tak ada
ayah, ibu, kakak, adik.
Adik. Gak ada adik, ya? Arsa menggelengkan kepalanya 3 kali saat kata-kata
‘adik’ itu muncul. Langsung ia melangkahkan kaki menuju tangga ke lantai atas.
Baru sampai di tengah tangga, bi Asih memanggil Arsa dan mengajaknya ke meja
makan. Arsa jawab ia sudah makan tadi, tapi bi Asih terus memaksa. Akhirnya ia
menyerah.
Dari jauh, Arsa melihat cahaya lilin di atas meja. Apaan tuh? Ia merasa bingung. Begitu ia sampai di meja, dan
dilihatnya lebih dekat, ternyata cahaya itu dari lilin yang diletakkan di atas
sebuah cheesecake bertuliskan “Happy
Birthday Arsa”. Sebuah kartu ucapan terselip di tepinya. Bi Asih bilang itu
dari orangtuanya. Hari ini sampai 3 hari ke depan mereka tidak akan ada di
rumah, sedang ada negosiasi bisnis di luar kota untuk membuka cabang baru
disana. Seringai ejekan itu kembali mengembang di wajah Arsa. Masih ingat ya
mereka sama ulang tahunnya? Kirain udah lupa kalo punya anak. Ia mengambil
kartu ucapan itu dan membukanya.
“Alasan klasik.” Ia lempar kartu ucapan itu dan langsung mengambil
langkah seribu menuju kamarnya. Dibantingnya pintu kamar dan menguncinya
rapat-rapat. Arsa kesal. Ia marah. Ia sedih. Apa perlu ia tambah lagi tattoes
yang sudah ada di badannya, atau tindikan di lidah, demi mendapat perhatian
orangtuanya?
Haaahh.. Gue capek. Capek hidup, umpatnya dalam hati. Jaket kulit dan
pakaiannya sudah ia ganti dengan kaos ketek hitam dan celana pendek rumahan.
Seprei tempat tidurnya masih licin dan rapih, dan sekarang Arsa gak ada niatan
untuk tidur sama sekali. Dibukanya laci meja, dan mengambil kotak Dunhill
SWITCH serta koreknya.
Kalau disini, nanti penuh asap. Jadi, ia keluar lagi menuju teras
rumahnya, pokoknya tempat terbuka supaya asapnya gak ngumpul di rumah. Biarin
orang lain kena, yang penting pakde sama bibi gak kena.
Baru saja ia duduk di teras, sekumpulan anak laki-laki—mungkin masih SD—yang sedang
asyik main gundu langsung
membubarkan diri. Begitu juga tukang nasi goreng, sesaat setelah tak sengaja
bertemu pandang dengan Arsa, lewat di depannya dengan tergesa-gesa seperti
dikejar hantu nenek gayung. Kenapa sih mereka? Mukanya serem atau gimana? Oh, mungkin karena tato di
tangannya yang lumayan banyak—keseluruhan ada 7 tato, di tangan
ada 3. Dan telinganya yang di piercing. Mungkin.
Yah, isinya tinggal satu, saat ia membuka kotak rokoknya. Segera ia
nyalakan, dan mulai menghisap rokok bermerek itu. Kenapa mereka semua takut?
Kenapa sama sekali gak ada yang pernah menegurnya? Gak berani? Sambil terus
menghisap rokoknya, Arsa terus berpikir. Payah. Sama sama orang, gak ada yang
berani negur. Bahkan mama papanya sekalipun.
Sekalian aja deh, takut-takutin orang yang lewat. Gak ada yang berani ini, kan? Arsa memasang tampang sangarnya dengan pose duduk yang sebisa
mungkin memperlihatkan tato-tatonya. Dan itu berhasil. Langkah kaki mereka
pasti lebih cepat tiap lewat di depan Arsa. Setelah puas mengerjai orang-orang,
ia beranjak masuk. Kotak rokoknya yang kosong ia lempar asal saja ke jalanan.
Puk.
Puk.
------~------
No comments:
Post a Comment